WahanaNews.co | Desakan agar negara meminta maaf secara langsung kepada presiden pertama RI, Soekarno terus digaungkan PDI Perjuangan. Desakan ini muncul setelah Presiden Joko Widodo mengabarkan pencabutan TAP MPRS 33/1967.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan pihaknya tetap berharap negara menyampaikan permintaan maaf secara resmi kepada Sukarno atau Bung Karno.
Baca Juga:
Mustikaningrat Tampil Memukau, Visi Ekonomi Sumedang Sugih Jadi Sorotan Debat Pilkada
Kata dia, negara harus melihat fakta peran Bung Karno di masa lalu yang dibelokkan selama Orde Baru di bawah rezim Soeharto.
Hasto bahkan mengingatkan hal yang pernah dilakukan Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ke para korban pembantaian pada periode 1964-1965an.
"Semuanya harus berkaca dengan apa yang dilakukan oleh Presiden Ketiga RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Atas peristiwa tahun 1964," kata Hasto lewat keterangan tertulis, Kamis (10/11).
Baca Juga:
Sengaja Dihapus, Foto Rano Karno Bersama Terduga Kasus Judi Online Lenyap dari Instagram
Dia bahkan menyinggung kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi keluarga Sukarno. Salah satunya yang dialami Megawati Soekarnoputri semasa kuliah.
Mega yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum PDIP justru tak menamatkan kuliahnya karena ada campur tangan politik di masa pemerintahan Soeharto.
"Sampai misalnya Ibu Megawati Soekarnoputri, untuk sekolah saja, itu tidak bisa melanjutkan kuliahnya karena aspek-aspek politik," kata Hasto.
Jokowi Tegaskan Soekarno Tak Khianati Negara
Sebenarnya, Jokowi sendiri telah mengatakan bahwa Sukarno merupakan Pahlawan RI. Hal ini terbukti dengan dicabutnya TAP MPRS tersebut. Jokowi bahkan menegaskan Sukarno tak pernah mengkhianati negara.
Hal itu dibuktikan dengan penyematan gelar pahlawan proklamator bagi Sukarno pada 1986. Pemerintah, kata Jokowi, juga menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Sukarno pada 2012.
Menukil laman MPR, melalui TAP MPR No I Tahun 2003 tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPRS/MPR sejak Tahun 1960-2002, TAP MPRS No 33 Tahun 1967 dinyatakan telah tidak berlaku lagi.
Pada saat TAP MPR 1/2003 itu ditetapkan, Indonesia sedang dipimpin Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Isi Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 adalah pencabutan kekuasaan presiden dari Sukarno. Peraturan itu menyinggung keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S.
Bagian pertimbangan Tap MPRS itu menyebut Sukarno membuat keputusan yang menguntungkan gerakan G30S. Selain itu, Sukarno disebut melindungi para tokoh PKI.
"Bahwa ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI," dikutip dari poin ketiga pertimbangan Tap MPRS itu.
Menanggapi permintaan dari PDIP, Dosen Hukum Universitas Andalas Feri Amsari justru menilai pidato yang disampaikan Jokowi terkait pencabutan TAP MPRS No. 33/1967 bagian dari permintaan maaf kepada Sukarno.
Meskipun kata-kata maaf tak diucapkan secara eksplisit, tapi Jokowi yang menyebut Sukarno merupakan sosok yang setia dan tidak mengkhianati negara merupakan bentuk permintaan maaf bangsa Indonesia.
Dia menilai pernyataan Jokowi perlu diapresiasi meskipun terhitung terlambat.
"Kalau mau dikatakan minta maaf, dengan sudah dikatakan sebagai Presiden Jokowi itu produk hukum yang coba menyudutkan Presiden Sukarno dan menyatakan bahwa bapak bangsa yang tidak pernah melakukan pengkhianatan pada negara, itu sudah sangat relevan dan cukup," kata Feri di CNN Indonesia TV, Kamis (10/11) malam.[zbr]