WahanaNews.co | Perkara tindak pidana korupsi sejumlah proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, melibatkan begitu banyak pihak.
Anak buah hingga penguasa pun akhirnya duduk di kursi pesakitan.
Baca Juga:
Korupsi Proyek Perkeretaapian, Anggota Pokja di Purwokerto Terima Sejumlah Uang
Kejahatan massal itu terbongkar setelah terpidana Suhandy selaku Direktur PT Selaras Simpati Nusantara, menginginkan empat paket proyek tahun anggaran 2021 dengan nilai Rp20 miliar. Suhandy menyatakan sanggup memberikan besaran fee yang akhirnya disepakati.
Empat proyek itu adalah pekerjaan normalisasi Danau Ulak Lia dengan nilai pekerjaan Rp 9,9 miliar, peningkatan jaringan Irigasi D.I.R Epil dengan nilai pekerjaan R p4,3 miliar, pekerjaan peningkatan jaringan Irigasi D.I.R Muara Teladan (DAK) senilai Rp 3,3 miliar, dan rehabilitasi daerah Irigasi Ngulak III (IPDMIP) di Desa Ngulak III, Kecamatan Sanga Desa, sebesar Rp 2,3 miliar.
Fee tersebut dibagi ke sejumlah orang. Ada nama mantan Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex yang disebut-sebut menerima 10 persen.
Baca Juga:
Gubernur Kalsel Tak Lagi Jadi Tersangka Suap dan Gratifikasi, Ini Alasan Hakim
Kemudian mantan Kepala Dinas PUPR Herman Mayori 3-5 persen, Kabid Sumber Daya Air Dinas PUPR Eddy Umari 2-3 persen, Unit Layanan Pengadaan (ULP) 3 persen, serta PPTK dan pengawas masing-masing 1 persen.
Persidangan Suhandy merupakan yang pertama sebelum tersangka-tersangka lain. Majelis hakim menjatuhkan vonis kepadanya 2,4 tahun penjara.
Sementara Dodi dan terdakwa lainnya masih dalam proses sidang dan tinggal menunggu pembacaan putusan hakim. Dodi dituntut 10 tahun dan 7 tahun penjara serta pencabutan hak politik selama lima tahun setelah menjalani pidana penjara.
Sementara Herman Mayori dituntut JPU KPK pidana penjara selama 4 tahun dan terdakwa Eddy Umari dituntut lima tahun penjara.
Saat dihadirkan menjadi saksi dalam persidangan Suhandy, Herman Mayori menyebut pihak kepolisian juga kecipratan dari uang suap proyek sebesar Rp2 miliar dengan tujuan pengamanan proyek di tahun berikutnya.
Uang sebanyak itu diberikan oleh terdakwa Suhandy karena proyek yang didapatnya pada 2021 bermasalah dan sempat berurusan dengan kepolisian. Fee diberikan karena ia tak ingin tahun proyek tahun berikutnya kembali bermasalah.
"Pada 2020 ada Rp2 miliar dari Suhandy, ada permintaan dari Polda terkait menyelesaikan permasalahan pengamanan Dinas PUPR. Uangnya dari Eddy Umari, diserahkan ke Irfan, lalu diserahkan ke orang suruhan. Sumber uang dari Suhandy, katanya untuk proyek berikutnya," ungkap Herman saat menyampaikan keterangan dalam persidangan di PN Palembang, Kamis (20/1).
Selain Polda Sumsel, Herman menyebut aliran dana suap juga mengalir ke Polres Musi Banyuasin sebesar Rp20 juta. Fee itu diberikan kepada Kasatreskrim Polres Musi Banyuasin melalui anak buahnya.
Perwira di Polres Musi Banyuasin itu sudah meninggal dunia sehingga kasusnya dihentikan.
Keterlibatan petinggi kepolisian kembali mencuat dalam sidang-sidang berikutnya, salah satunya AKBP Dalizon. Saat kejahatan terjadi, Dalizon bertugas sebagai Kasubdit Tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumsel.
Kemudian dia mendapat promosi sebagai Kapolres Ogan Komering Ulu Timur dan dicopot akhir 2021. Pencopotan dilakukan dalam rangka penyelidikan terkait dugaan gratifikasi proyek di PUPR Musi Banyuasin.
Dalizon akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dittipidkor) Bareskrim Polri.
Pada 10 Juni 2022, Dalizon menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor PN Palembang. JPU Kejaksaan Agung mendakwa terdakwa menerima suap dari proyek itu sebesar Rp10 miliar.
Modus yang digunakan terdakwa adalah dengan cara memaksa Kepala Dinas PUPR Musi Banyuasin Herman Mayori untuk memberikan fee sebesar 5 persen terkait penyidikan di Ditreskrimsus Polda Sumsel. Herman Mayori lalu meminta seseorang bernama Adi Chandra membawa uang itu yang dimasukan dalam dua kardus ke rumah terdakwa di kawasan Grend Garden Palembang.
Fee diberikan masing-masing Rp5 miliar dengan tujuan tidak melanjutkan penyidikan, dan Rp5 miliar untuk pengamanan agar tidak ada aparat penegak hukum lain melakukan penyidikan atas upaya tindak pidana korupsi di dinas itu.
Agar permintaannya dikabulkan, terdakwa mengancam akan melanjutkan penyidikan. Setelah fee diberikan, terdakwa ternyata tetap memproses kasus itu dengan modus administrasi abal-abal. Perbuatan jahat terdakwa bertujuan untuk mendapatkan uang dari proyek di Musi Banyuasin.
Dalam dakwaan juga, JPU menyebut aliran fee proyek diterima Direktur Ditreskrimsus Polda Sumsel Kombes Pol Anton Setiawan yang tidak lain atasan Dalizon. Anton diberikan uang oleh terdakwa Dalizon sebesar Rp4,750 miliar.
Kombes Anton Setiawan telah dicopot dari jabatan dan pindah tugas sebagai Kasubdit I Ditpidter Bareskrim Polri sejak Juli 2021 lalu. Mutasi itu sesuai dengan surat Telegram Kapolri Nomor : ST/1508/VII/KEP/2021 tertanggal 26 Juli 2021.
Dalam perkara ini, terdakwa dijerat dengan pasal alternatif kumulatif yakni sebagai aparat penegak hukum diduga telah melakukan tindak pidana gratifikasi dan pemerasan, yakni melanggar Pasal 12e atau 12B Undang-undang Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Pasal 5 ayat (2) juncto Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Belakangan, terdakwa mengajukan Justice Collaborator (JC) yang disampaikan penasihat hukumnya Anwar Tarigan. Menurut Anwar, kliennya tidak menerima fee yang disebut dalam dakwaan.
Justru disinyalir ada pihak lain yang menikmati aliran dana tersebut.
Dalam nota pembelaan, terdakwa menyampaikan meminta majelis hakim membatalkan seluruh dakwaan jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung. Terdakwa tidak terima disebut memaksa meminta uang kepada Kadis PUPR Musi Banyuasin Herman Mayori.
"Pihak PUPR Musi Banyuasin lah yang mendekat dan meminta bantuan, tidak ada paksaan. Kami minta dakwaan dibatalkan dan pemulihan nama baik seperti semula," kata dia.
Perkara Dalizon masih berproses dan pekan depan dijadwalkan sidang menghadirkan saksi-saksi. Dari situ dapat diketahui peristiwa sebenarnya atau justru mengungkap fakta baru. [qnt]