WahanaNews.co | Sejak Pilpres 2019 berakhir, Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan selalu masuk posisi tiga besar survei elektabilitas Capres.
Namun, bukan berarti tren dukungan publik tersebut tidak bisa berubah jelang Pilpres 2024.
Baca Juga:
Meski NasDem-PKB Gabung Prabowo, Anies Tetap di Jalur Perubahan
Pendiri lembaga survei dan konsultan politik Cyrus Network, Hasan Nasbi, menyebut, karakteristik pendukung tiga tokoh itu tidak jauh berbeda dengan kelompok pemilih pada Pilpres 2019 lalu.
"Prabowo itu Old Soldier, veteran Pilpres, yang nggak ngapa-ngapain saja punya pendukung tetap sekitar 25 persen," ujar Hasan.
Ganjar Pranowo dianggap mewarisi sebagian pemilih Jokowi, yakni golongan anti-kadrun dan sering meneriakkan narasi kebinekaan dan Pancasila harga mati.
Baca Juga:
Ajak Partainya Realistis, Ketua Mahkamah PPP Serukan Dukung Pemerintahan Baru
Sedangkan Anies Baswedan didukung oleh orang-orang yang kerap menggunakan narasi agama.
Mereka adalah kelompok yang pada Pilpres 2019 mendukung Prabowo karena anti terhadap Jokowi.
"Mereka ini melihat Anies Baswedan sebagai cantelan baru. Jumlahnya bisa mencapai sekitar 15 persen. Sisanya ada yang kebagian warisan (dukungan) sedikit-sedikit itu AHY, Sandiaga Uno," beber Hasan.
Namun, lanjut Hasan, dukungan yang sudah muncul saat ini bersumber dari keyakinan dan bukan persepsi rasional.
Karena itu, masih mungkin berubah.
Hasan menyebutkan dua hal yang dapat mengubah peta dukungan publik.
Pertama, berakhirnya masa jabatan Anies dan Ganjar sebagai kepala daerah.
Mempertahankan elektabilitas bukanlah pekerjaan mudah bagi tokoh yang tidak punya jabatan prestisius.
Hasan mencontohkan, Gatot Nurmantyo yang meski berusaha sangat keras untuk tetap relevan, pamornya terus meredup sejak kehilangan jabatan panglima TNI.
"Karena enggak punya jabatan itu, jangankan dengan partai, dengan teman sendiri aja susah," kata Hasan.
Hal kedua yang dapat mengubah situasi adalah pembentukan koalisi parpol dan penentuan calon lebih awal dari biasanya.
"Hari ini masyarakat tidak tahu siapa yang benar-benar punya tiket untuk maju atau tidak. Masalahnya saat ini masih ada anggapan bahwa mendeklarasikan diri jauh-jauh hari itu buruk," ujar Hasan.
Dari perolehan suara Pemilu sebelumnya, hanya ada tiga partai yang memiliki peluang memajukan calon.
PDIP yang bisa memajukan calon sendiri, atau Gerindra dan Golkar yang hanya membutuhkan satu partai tambahan.
"Ini dua hal yang bisa mengubah peta survei. Kalau sudah dibungkus saya yakin orang akan melihat ooh ini yang sudah punya tiket," ujar Hasan.
Namun, elite politik kerap menginginkan calon ditentukan mendekati batas pendaftaran.
"Karena di akhir makin tinggi harga negonya. Padahal publik menginginkan jauh-jauh hari," pungkasnya. [qnt]