WAHANANEWS.CO, Jakarta - Pertanggungjawaban pidana korporasi hingga kini masih menjadi persoalan klasik dalam sistem hukum Indonesia.
Berbagai kasus pidana yang menyeret perusahaan sering kali menimbulkan kebingungan di pengadilan.
Baca Juga:
Kasus Korupsi 109 Ton Emas, Kejagung Buka Peluang Jerat Tersangka Korporasi
Mulai dari siapa yang seharusnya didakwa, siapa yang berhak mewakili korporasi di persidangan, hingga bagaimana eksekusi putusan dilakukan ketika perusahaan dijatuhi sanksi denda atau pidana tambahan.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair), Maradona, menilai kondisi tersebut memperlihatkan hukum acara pidana di Indonesia masih cenderung berorientasi pada pelaku individu.
Padahal, kejahatan yang dilakukan korporasi semakin kompleks dan berdampak luas, sementara regulasi yang ada belum sepenuhnya menyesuaikan dengan kenyataan bahwa perusahaan juga bisa menjadi pelaku tindak pidana.
Baca Juga:
Teken MoU Bersama Kementerian BUMN dan BPKP, PLN Lanjutkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
“Kita masih berperspektif bahwa pelaku pidana adalah manusia saja. Padahal, dalam banyak kasus, perusahaan bertindak sebagai entitas yang memiliki kehendak sendiri, dengan sistem dan kebijakan internal yang bisa menimbulkan kerugian besar,” kata Maradona dalam Seminar Nasional di Universitas Brawijaya, Kamis (28/8/2025).
Ia menambahkan, dalam praktik kerap terjadi inkonsistensi.
Ada putusan pengadilan yang menyebut korporasi sebagai terdakwa, tetapi identitas yang dibacakan justru nama direktur atau pengurus.