Situasi ini memunculkan masalah baru, terutama ketika perusahaan dijatuhi pidana tambahan berupa denda atau ganti rugi.
“Pertanyaannya, siapa yang harus membayar? Apakah pengurus saat tindak pidana dilakukan, atau pengurus yang sedang menjabat ketika putusan dijalankan,” ujarnya.
Baca Juga:
Kasus Korupsi 109 Ton Emas, Kejagung Buka Peluang Jerat Tersangka Korporasi
Lebih jauh, Maradona menekankan pentingnya memandang korporasi bukan sekadar kumpulan orang, melainkan sebagai entitas yang memiliki kultur, prosedur, serta sistem kerja yang dapat memicu tindak pidana.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, pandangan ini mulai diakomodasi melalui konsep atribusi.
Konsep tersebut menekankan pembebanan perbuatan pengurus, karyawan, atau pihak lain yang memiliki kontrol efektif kepada korporasi.
Baca Juga:
Teken MoU Bersama Kementerian BUMN dan BPKP, PLN Lanjutkan Tata Kelola Perusahaan yang Baik
“Jika sistem perusahaan mendorong terjadinya pelanggaran, maka korporasi harus dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya individu pelaksana di lapangan,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, Kuntadi, menegaskan perlunya modernisasi hukum dalam menghadapi fenomena kejahatan korporasi.
Menurutnya, perkembangan teknologi dan dinamika sosial telah melahirkan beragam modus baru yang memanfaatkan kelemahan regulasi.