WahanaNews.co, Jakarta - Dalam undang-undang pemilu memang tidak mengatur mengenai conflict of interest, tetapi bagaimana mungkin Jokowi dapat mengambil jarak yang proporsional, jika salah satu cawapresnya merupakan anaknya sendiri? Tentu ada ikatan kontak batin yang dirasakan.
Demikian disampaikan Ahmad Khoirul Umam, dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina dalam Diskusi bertajuk "Presiden Berkampanye?" yang diselenggarakan Universitas Paramadina secara daring, Senin (29/1/2024).
Baca Juga:
Ketua DPD Martabat Prabowo-Gibran Sumatera Utara Tenno Purba Ucapkan Selamat Atas Pelantikan Presiden Dan Wapres RI
Umam mengungkapkan adanya ketidakmampuan dalam memilah ruang privat dengan ruang publik yaitu adanya kekuasaan negara menjadi tidak netral hingga berbagai lembaga menjadi alat kemenangan politik termasuk dalam skala yang lebih besar dalam terjadinya abuse of power. Bukan lagi ancaman mengenai legitimasi, kemudian bagaimana nama baik dan masa depan demokrasi.
Ia mengungkapkan munculnya sejumlah pertanyaan mengenai netralitas, memicu tidak ketidakpercayaan publik sehingga bisa memunculkan chaos pasca pemilu.
"Apakah praktik politisasi ini dapat dihentikan? Karena sebenarnya perilaku kekuasaan yang ada serupa, karena atas backup-backup yang dilakukan di belakangnya."
Baca Juga:
Ketua DPD Martabat Prabowo-Gibran Sumut Tenno Purba Ucapkan Selamat Atas Pelantikan Presiden dan Wapres RI
Dalam konteks politik praktis lanjut Umam, terlepas dari etik dan legal standar, nampaknya hal tersebut merupakan pengantar atau sebuah pemanasan yang disampaikan oleh Jokowi.
"Karena per hari ini ada stagnasi elektabilitas mencapai 45%. Kalau misalnya situasi stagnasi adalah melakukan pukulan akhir yaitu bentuk pendeklarasian secara terbuka dari Jokowi sendiri." Ujarnya.
Afiq Naufal, Ketua SEMA Paramadina dalam paparannya menyatakan bahwa seharusnya presiden tidak menggunakan kewenangannya untuk berpihak, keberpihakan presiden tidak hanya kepada pejabat politik tetapi sebagai penguasa.