BELUM lama ini, Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, memberikan pernyataan terkait status organisasi advokat (OA) sebagai lembaga negara (state organ) yang harus bersifat tunggal. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang digelar pada 5-6 Desember 2024 di Bali.
Yusril mengemukakan organisasi advokat, sebagaimana lembaga negara lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan, seharusnya bersifat tunggal. Menurut Yusril, organisasi advokat memiliki peran strategis dalam sistem penegakan hukum, sehingga keberadaan yang terfragmentasi ke dalam berbagai organisasi dinilai dapat menimbulkan permasalahan koordinasi dan efektivitas dalam menjalankan fungsi advokasi.
Baca Juga:
Rapimnas KAI 2024: Persiapan Menuju Kongres Besar Tahun Depan
Pandangan itu menimbulkan perdebatan yang cukup signifikan. Beberapa organisasi advokat menyatakan ketidaksetujuan terhadap anggapan bahwa mereka adalah lembaga negara. Mereka berpendapat OA merupakan lembaga mandiri yang menjalankan profesi advokat sebagai penegak hukum berdasarkan prinsip-prinsip independensi dan otonomi profesi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).
Organisasi Advokat di Indonesia Bukan Lembaga NegaraPermasalahan utama yang muncul dari pernyataan bahwa organisasi advokat (OA) adalah lembaga negara berkaitan status hukum OA sebagaimana diatur UU Advokat. Dalam kerangka hukum tata negara, lembaga negara secara konseptual terbagi menjadi dua kategori: lembaga negara utama (primary state organs) atau Primary Constitutional Organs dan lembaga negara bantu (auxiliary state organs) (Jimly Asshiddiqie, 2006). Kedua jenis lembaga ini memiliki karakteristik dan landasan hukum yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan dalam hal pendirian dan fungsi berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Lembaga negara utama (primary state organs) adalah lembaga yang secara eksplisit disebut dalam konstitusi menjalankan fungsi utama negara, seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Contohnya adalah Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, dan Badan-Badan Peradilan di Bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Lembaga negara bantu (auxiliary state organs), baik disebutkan maupun tidak disebutkan dalam konstitusi, dibentuk oleh peraturan perundang-undangan untuk membantu pelaksanaan fungsi negara yang utama. Contoh lembaga ini, seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), atau Ombudsman.
Jika OA dianggap sebagai lembaga negara, implikasinya pendirian OA harus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, bukan melalui mekanisme pembentukan badan hukum perdata seperti yayasan, perkumpulan, atau badan hukum perdata lainnya. Peraturan pendirian harus memuat kewenangan, tugas, dan fungsi OA, termasuk pengaturan mengenai strukturnya yang hierarkis dan keseragamannya sebagai lembaga negara. OA akan berada di bawah pengawasan negara secara langsung dan memiliki fungsi serta kewenangan yang dijabarkan dalam peraturan tersebut.
Namun, dalam praktiknya, OA saat ini termasuk Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) didirikan sebagai badan hukum perdata berbasis keanggotaan, yang mengindikasikan statusnya bukan lembaga negara, melainkan organisasi mandiri yang bersifat privat. Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang mendefinisikan advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab, bukan sebagai bagian dari struktur negara.
Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat diatur bahwa Organisasi Advokat (OA) merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bersifat independen dan tidak terikat, yang dibentuk sesuai dengan ketentuan undang-undang. Organisasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat. Meski demikian, kenyataan hukum dan praktik di lapangan menunjukkan kompleksitas yang perlu ditelaah lebih lanjut, terutama terkait pluralitas organisasi advokat di Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015 memberikan pengaruh signifikan terhadap interpretasi hukum terkait organisasi advokat.
Dalam putusan tersebut, frasa "di sidang terbuka Pengadilan Tinggi" pada Pasal 4 ayat (1) UU Advokat dinyatakan bertentangan dengan UUD NKRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK menegaskan bahwa Pengadilan Tinggi wajib mengambil sumpah para advokat tanpa mengaitkan keanggotaan mereka dengan organisasi advokat tertentu, seperti Peradi atau Kongres Advokat Indonesia (KAI). Terlebih, Pasal 28E UUD NRI 1945 menjamin kebebasan berserikat, sehingga menutup peluang organisasi advokat lain (untuk mendirikan organisasi, red) dapat dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Putusan ini membuka peluang pluralisme OA di Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa kewajiban negara (melalui Pengadilan Tinggi) dalam pengambilan sumpah advokat bersifat netral terhadap organisasi manapun. Saat ini, secara faktual OA di Indonesia tidak lagi terbatas pada Peradi dan KAI. Beberapa organisasi lain, seperti IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia), Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI), dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), juga hadir dan diakui secara de facto.
Perbandingan Organisasi Advokat Negara di Amerika SerikatKeanggotaan organisasi advokat di Amerika Serikat memiliki karakteristik yang khas, tergantung pada aturan di masing-masing negara bagian. Namun umumnya dapat dibagi sebagai berikut:1. Mandatory Bar Associations: Di beberapa negara bagian, keanggotaan dalam organisasi advokat negara adalah wajib bagi semua advokat yang berpraktik di negara bagian tersebut. Contohnya adalah The State Bar of California dan State Bar of Texas. 2. Voluntary Bar Associations: Di negara bagian lain, keanggotaan di organisasi advokat bersifat sukarela. Advokat dapat memilih untuk bergabung dengan organisasi profesional seperti American Bar Association (ABA) untuk mendapatkan manfaat seperti pelatihan, jaringan profesional, dan advokasi kebijakan.
Sebagian besar organisasi advokat di AS sekarang telah terdaftar sebagai badan hukum, seperti perusahaan nirlaba. Hal ini dilakukan untuk memberikan struktur hukum yang lebih jelas dan melindungi kepentingan anggota. Organisasi advokat di negara bagian yang mewajibkan keanggotaan seringkali juga berfungsi sebagai regulator profesi, menetapkan kode etik, dan memberikan sanksi disiplin. Di negara bagian tertentu, organisasi advokat negara berfungsi sebagai representasi kolektif profesi hukum, sehingga semua advokat diwajibkan menjadi anggota. Organisasi semacam ini sering disebut state bar associations.
Negara pertama yang menerapkan Organisasi Advokat Terintegrasi adalah North Dakota pada 1921. California bahkan menuliskan Organisasi Advokat Negara California (The State Bar of California) dalam Pasal 6 bagian 9 Konstitusi California (“The State Bar of California is a public corporation”). Meskipun diatur dalam konstitusi, The State Bar of California hanya berstatus sebagai Korporasi Publik, bukan lembaga negara (State organ).
Kritik terhadap Gagasan OA sebagai Lembaga NegaraAdvokat adalah salah satu pilar penegakan hukum yang memiliki prinsip independensi, yang berarti tidak dapat berada di bawah kendali atau pengaruh negara. Jika OA dijadikan lembaga negara tunggal, maka pluralitas OA yang ada saat ini dapat hilang, yang berisiko mengurangi kebebasan berserikat sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Sebagai lembaga negara, OA akan memerlukan peran legislasi untuk membentuknya secara formal, termasuk menentukan struktur, fungsi, dan kewenangannya, yang akan mengubah paradigma OA secara mendasar.
Untuk menghindari kebingungan konseptual dan implikasi hukum yang tidak diinginkan, perlu dilakukan kajian hukum lebih mendalam mengenai status OA, baik dari perspektif hukum tata negara maupun hukum administrasi negara. Hal ini melibatkan klarifikasi apakah OA berfungsi sebagai lembaga negara atau tetap sebagai organisasi mandiri yang diakui dan diatur melalui peraturan perundang-undangan tertentu. Diskursus ini perlu mempertimbangkan tujuan utama keberadaan OA yaitu mendukung penegakan hukum yang adil dan independen tanpa mencederai kebebasan profesi advokat dan prinsip demokrasi.
Gagasan menjadikan OA sebagai lembaga negara dan bersifat tunggal dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berserikat yang dijamin oleh konstitusi. Dalam praktiknya, pluralisme OA memberikan ruang bagi advokat untuk memilih organisasi yang sesuai dengan nilai dan visi yang mereka anut, sekaligus mendorong kompetisi sehat di antara organisasi tersebut. Diskusi mengenai status OA sebagai lembaga negara juga berimplikasi pada konsep dasar tentang advokat sebagai profesi independen.
Baca Juga:
Rahmansyah Siregar SH & Partners Berhasil Menangkan Gugatan Perkara Perdata Sengketa Lahan
Sebagai bagian dari sistem peradilan, advokat memang diakui sebagai penegak hukum, tetapi mereka tidak berada di bawah kendali negara. Oleh karena itu, wacana yang diajukan Yusril perlu ditinjau lebih lanjut dari sudut pandang hukum tata negara, hukum administrasi negara, serta prinsip-prinsip dasar profesi advokat itu sendiri. Pandangan ini membuka ruang diskusi lebih lanjut tentang bagaimana menyelaraskan peran OA dalam penegakan hukum tanpa melanggar prinsip independensi dan kebebasan berserikat yang telah menjadi fondasi profesi advokat di Indonesia.
Rekomendasi: Harmonisasi Hukum dan PraktikUntuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan langkah-langkah konkret untuk menyelaraskan hukum dan praktik terkait OA
Pertama, revisi UU Advokat: Perlu dilakukan revisi terhadap UU No. 18 Tahun 2003 untuk memberikan kejelasan mengenai status OA, termasuk pengaturan pluralitas OA sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XII/2014 dan 36/PUU-XIII/2015.
Kedua, peningkatan peran negara sebagai regulator: Negara perlu mengambil peran dalam menyusun pedoman umum untuk seluruh OA, seperti standar pendidikan, pelatihan, dan pengawasan kode etik, tanpa membatasi kebebasan berserikat.
Ketiga, dialog antarorganisasi: OA perlu membangun sinergi untuk menciptakan keselarasan visi dan misi profesi advokat, sehingga tidak terjadi konflik yang merugikan kepentingan profesi ataupun masyarakat. Salah satu solusi yang dapat dilakukan dengan membentuk Dewan Advokat Nasional (DAN) yang menjadi wadah perkumpulan seluruh OA di Indonesia yang dibentuk melalui undang-undang. Dewan Advokat Nasional ini dapat memiliki status sebagai lembaga negara bantu (auxiliary state organs) karena dibentuk dengan undang-undang.
Dengan pendekatan ini, pluralitas OA dapat tetap dihormati tanpa mengabaikan kebutuhan akan standar profesi yang seragam dan prinsip independensi serta kebebasan berserikat yang menjadi esensi profesi advokat.
Penulis: Aldwin Rahadian Megantara, S.H., M.A.P., CIL., Praktisi Hukum Indonesia, Co-Founder dari Aldwin Rahadian & Partners Lawfirm
[Redaktur Amanda Zubehor]