WahanaNews.co | Pakar ekonomi senior,
Rizal Ramli, uring-uringan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak
gugatannya terkait Presidential Threshold
atau Ambang Batas Pencalonan Presiden.
Dalam gugatan tersebut,
Rizal Ramli meminta agar aturan
Ambang Batas Pencalonan Presiden diubah, dari batas minimal 20
persen kursi parlemen menjadi
nol persen.
Baca Juga:
Rizal Ramli Telah Wafat, Jejak Perjalanan Sang 'Rajawali Ngepret'
Hal tersebut ia jelaskan dalam video bincang-bincangnya bersama
presenter acara Indonesia Lawyer Club
(ILC), Karni Ilyas.
Pada video yang ditayangkan dalam kanal YouTube "Karni Ilyas Club" tersebut,
Rizal Ramli menyatakan bahwa gugatannya ditolak MK sebelum diproses.
"Belum diproses udah langsung ditolak. Istilahnya, legal
standing-nya
nggak kuat,"kata Rizal Ramli, seperti dikutip pada
Minggu (31/1/2021).
Baca Juga:
Ekonom Rizal Ramli Tutup Usia
Kemudian, ia juga mengungkapkan bahwa yang mengajukan gugatan soal
ambang batas
pencalonan Presiden itu sudah sampai 11 orang.
Namun,
giliran dirinya yang mengajukan,
langsung ditolak. Sehingga,
menurutnya,
penolakan yang dilakukan MK itu merupakan
cara kekanak-kanakkan.
Hal itu ia sampaikan,
karena apabila terjadi perdebatan di
persidangan,
hakim konstitusi akan memberikan pernyataan-pernyataan yang tidak memadai.
"Begitu saya (yang mengajukan gugatan), rupanya mereka takut
banget sama kita,
karena kalau ada perdebatan persidangan, saya yakin argumen-argumen dari hakim
konstitusi tidak memadai,"ucapnya
menambahkan.
Tak hanya itu. Ia menyatakan, aturan Presidential Threshold tersebut hanya
menguntungkan segelintir
partai besar.
"Karena,
yang menikmati threshold ini hanya 9
partai besar,"ujar Rizal Ramli.
Lebih lanjut ia menjelaskan, pada awalnya
MK terbentuk dari ide yang bagus.
"Dulu,
waktu bikin MK, idenya
bagus. Kalau ada masalah dari UU, ya bisa diajukan ke MK," katanya.
Namun, Rizal Ramli mengungkapkan, seiring
berjalannya waktu, kinerja MK malah
seolah menjadi "Mahkamah Kekuasaan", lantaran
hanya mendengar kemauan pihak yang berkuasa atau eksekutif.
"Dalam praktiknya,
kalau kita lihat keputusan selama dua
tahun terakhir, dia itu bukan lagi Mahkamah Konstitusi, tapi Mahkamah Kekuasaan. Denger yang kuasa,
denger eksekutif maunya apa. Bukan mempertahankan konstitusi,"ucap Rizal Ramli, menjelaskan.
Menurutnya,
aturanthresholdyang
sedang ia perjuangankan sekarang itu merupakan akar masalah dari negara saat
ini.
Pasalnya, para calon pemimpin, seperti Bupati, Gubernur, dan Presiden, jika terpilih nantinya hanya akan mengabdi pada partai atau cukong, bukan pada rakyat.
[dhn]