WAHANANEWS.CO, Jakarta - Bayang-bayang skandal besar kembali menyelimuti dunia peradilan Indonesia.
Kali ini, mantan pejabat tinggi Mahkamah Agung, Zarof Ricar, menjadi sosok sentral dalam pusaran kasus mega korupsi dan dugaan pencucian uang yang menyeret nama-nama besar, mulai dari konglomerat gula hingga korporasi Jepang ternama seperti Marubeni Corporation dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation.
Baca Juga:
Suparta Terdakwa Kasus Timah Rp300 Triliun Meninggal di RSUD Cibinong
Dilaporkan dari berbagai media nasional, perkara sipil yang menjadi titik awal rangkaian skandal ini melibatkan lima perusahaan dari Sugar Group Company: PT Sweet Indolampung, PT Indolampung Perkasa, PT Gula Putih Mataram, PT Indolampung Distillery, dan PT Garuda Panca Arta sebagai pihak penggugat.
Mereka melayangkan gugatan terhadap PT Mekar Perkasa, Marubeni Corporation, Marubeni Europe Plc, Sumitomo Mitsui Banking Corporation, Sumitomo Trust and Banking Co Ltd Singapore Branch, dan notaris Arman Lany.
Gugatan yang dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu menuntut pembatalan perjanjian pinjaman yang dinilai tidak sah, di mana Marubeni dan Sumitomo bertindak sebagai kreditur serta penerima jaminan fidusia atas aset milik penggugat.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Blokir Kebijakan Trump Deportasi Migran Venezuela Tanpa Proses Hukum
Di balik dokumen hukum itu tersimpan jejak konflik korporasi kelas berat yang bermula dari proyek pembangunan pabrik gula antara Marubeni dan PT Sweet Indolampung.
Krisis ekonomi memaksa Keluarga Salim menyerahkan Sugar Group ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebelum akhirnya dibeli oleh Garuda Panca Arta milik Gunawan Yusuf.
Namun, Marubeni tetap menuntut pembayaran utang lama kepada pemilik baru. Gugatan ini ditolak dengan dasar ketentuan Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), yang menyatakan bahwa seluruh aset yang diambil alih BPPN harus dalam kondisi bebas dari kewajiban utang.
Kasus ini menjadi pintu masuk bagi dugaan suap dan praktik korupsi yang lebih besar. Zarof Ricar, mantan Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil MA, akhirnya duduk di kursi terdakwa dalam sidang Tipikor Jakarta Pusat atas dakwaan pemufakatan jahat memberi suap senilai Rp5 miliar kepada Ketua Majelis Kasasi MA, Hakim Agung Soesilo.
Tujuannya: mempengaruhi putusan perkara kasasi Ronald Tannur, pengacara yang didakwa membunuh Dini Sera Afriyanti.
Namun vonis Mahkamah Agung malah menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada Tannur pada 22 Oktober 2024, dengan perbedaan pendapat dari ketua majelis sendiri, Soesilo, yang menilai Tannur tak memiliki niat membunuh.
Saat bersaksi untuk terdakwa Lisa Rachmat, pengacara Tannur, Zarof membuat pengakuan mencengangkan: ia menerima Rp50 miliar dari pihak Sugar Group Company demi "mengamankan" perkara gugatan perdata mereka.
"Yang paling besar itu dari Marubeni, ya, perkara itu. Saya terima sekitar Rp50 miliar," ungkap Zarof di persidangan pada Rabu, 7 Mei 2025.
Jaksa menggali lebih dalam. Uang itu, kata Zarof, dimaksudkan agar Sugar Group dimenangkan. Ia bahkan mengakui telah mengakses informasi dan mempelajari berkas perkara secara tidak sah—menyalahgunakan jabatannya sebagai kepala badan MA untuk mengatur peta keputusan pengadilan.
Tak hanya soal Marubeni, penyidik mengungkap bahwa Zarof juga menerima gratifikasi lain dalam bentuk uang sebesar Rp915 miliar dan logam mulia seberat 51 kilogram dari berbagai pihak yang memiliki perkara di MA—baik di tingkat pertama, banding, kasasi, hingga peninjauan kembali.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus kemudian menetapkannya sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Berdasarkan Sprindik tertanggal 10 April 2025, sejumlah aset milik Zarof telah diblokir karena diduga berasal dari hasil korupsi besar-besaran.
Kasus ini menjadi gambaran nyata bagaimana uang dapat membelokkan arah keadilan, memperkuat dominasi korporasi, dan mencederai institusi peradilan tertinggi di negeri ini.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]