WahanaNews.co | Sejumlah pasal dalam draf RUU Pemilu belakangan menjadi sorotan.
Salah satunya mengenai jadwal pilkada. Fraksi-fraksi di DPR pun terbelah.
Ada yang ingin Pilkada tetap digelar di 2024, sesuai UU
Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Baca Juga:
Perludem: Penolak Revisi UU Pemilu Alami Amnesia Elektoral
Tapi, tak
sedikit fraksi yang ingin normalisasi Pilkada, sehingga Pilkada digelar pada 2022 dan 2023, dengan cara merevisi UU
Pemilu dan menggabungkan UU Pilkada.
Bagaimana pemetaan sikap fraksi-fraksi
di Senayan?
Baca Juga:
Revisi UU Pemilu, Perludem: KPU Cuma Membeo
PDIP
Ketua DPP PDIP, Djarot
Syaiful Hidayat, menyatakan sikap partainya yang ingin
Pilkada digelar serentak di 2024.
Djarot juga menilai, sebenarnya tak perlu ada revisi UU Pemilu.
PDIP beralasan, Pilkada harus digelar di 2024 agar Indonesia bisa fokus menangani
pandemi di 2022 atau 2023.
"Atas dasar hal tersebut,
sebaiknya Pilkada Serentak tetap diadakan pada tahun 2024. Hal ini sesuai
dengan desain konsolidasi pemerintahan pusat dan daerah," kata Djarot.
Golkar
Sebagai pemilik kursi terbesar kedua
di Senayan setelah PDIP, sikap Golkar menjadi sangat penting.
Wakil Ketua Umum DPP Golkar, Nurul Arifin, menyatakan, partainya
memilih normalisasi Pilkada, sehingga
digelar di tahun 2022 dan 2023.
Alasannya, selain beban anggaran yang
akan membengkak di 2024, pengalaman Pilpres dan Pileg
serentak di 2019 banyak memakan korban juga menjadi salah satu pertimbangan.
"Kami dari Fraksi Partai Golkar
tetap berharap bahwa Pilkada itu dilaksanakan sesuai dengan
jadwal yang seharusnya, pada tahun 2022 kan ada 101 daerah yang Pilkada, dan tahun
2023 ada 170," tutur Nurul.
Gerindra
DPP Gerindra, hingga kini, belum memutuskan sikap terkait jadwal Pilkada.
Ketua Harian DPP Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan, partainya
sedang mengkaji usulan itu.
"Kami juga sedang menghitung dan
kami kaji, dan sedang kami minta pendapat dari parpol lain mengenai perlu
tidaknya Pilkada 2022," kata Dasco.
Sementara itu, Anggota Komisi II
F-Gerindra, Elnino, menyebut, secara
pribadi, ia berpandangan sebaiknya Pilkada
digelar serentak dengan Pemilu nasional pada 2024.
NasDem
Sekretaris Fraksi NasDem, Saan Mustopa, mengatakan, partainya ingin Pilkada digelar di 2022 dan 2023.
Pasalnya, Pilkada
serentak dengan Pilpres dan Pileg bakal
sulit. NasDem menilai, Pemilu
serentak hanya akan menimbulkan banyak masalah.
Ia mencontohkan, Pileg dan Pilpres di 2019 saja banyak masalah,
apalagi jika Pilkada digelar di tahun yang sama.
"Kalau NasDem, sampai hari ini, kita tetap ingin Pilkada itu
dinormalisasi. Jadi, di 2022 tetap ada pilkada, 2023 tetap
ada Pilkada, dan seterusnya dengan siklus yang ada sekarang," sebut Saan.
PKB
Wakil Ketua Umum DPP Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, mengungkapkan, PKB masih mengkaji usulan di Draf RUU Pemilu.
Namun, ia memberi sinyal sikap PKB
cenderung ke normalisasi Pilkada, atau digelar di 2022 dan 2023.
"PKB masih mengkaji, prinsipnya
mempertimbangkan kesiapan teknis pelaksanaan, anggaran, dan
dampaknya. Bila secara teknis siap, dapat saja dilaksanakan pada tahun
2022. PKB cenderung diadakan tahun 2022, sesuai
agenda yang ada, agar tidak berdampak pada banyaknya
Plt Kepala Daerah," kata Jazilul.
Partai Demokrat
Kepala Badan Komunikasi Publik DPP
Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, menyebut, sikap Demokrat setuju Pilkada digelar
2022 dan 2023.
"Demokrat setuju normalisasi
penyelenggaraan Pilkada 2022 dan 2023 dalam RUU Pemilu, termasuk di dalamnya
Pilkada DKI digelar pada 2022," ujar Herzaky.
PKS
Ketua DPP PKS, Mardani
Ali Sera, mengungkapkan, PKS setuju dilaksanakan Pilkada di 2022 dan 2023.
Seperti alasan fraksi lainnya, Mardani
menilai, ratusan Plt tak akan efektif, dan akan ada penumpukan jadwal.
"Setuju, Pilkada
DKI di 2022. Bukan hanya Pilkada DKI, tapi semua Pilkada 2022 dan 2023 penting
dijalankan. Justru di masa krisis diperlukan kepala daerah definitif, hingga bisa menjadi nakhoda utama mengawal krisis," ujar
Mardani.
"Usulan PKS, Pilkada serentak
dilaksanakan 2,5 tahun sesudah Pemilu 2024, agar
dapat juga berfungsi sebagai Pemilu sela yang mengoreksi pemenang
Pemilu 2024," ungkap Mardani.
PAN
Sikap PAN, hingga
saat ini, menolak merevisi UU Pemilu. Maka, dengan
kata lain, PAN mengikuti UU yang lama terkait Pilkada, yaitu digelar serentak
di 2024.
"Tentu alasan yang dikemukakan
adalah untuk memperbaiki kualitas Pemilu itu sendiri. Namun demikian,
Partai Amanat Nasional berpendapat bahwa UU tersebut belum saatnya untuk
direvisi," kata Zulkifli Hasan.
PPP
Senada dengan PAN, Wakil Ketua MPR
Fraksi PPP, Arsul Sani, menegaskan, partai
berlambang Ka"bah itu ingin agar UU Pemilu tak direvisi.
Untuk Pilkada, menurut Arsul,
sebaiknya mengikuti UU lama. Berarti, PPP setuju Pilkada
digelar serentak dengan Pemilu nasional di 2024.
"Kan kalau sikap dasar PPP yang sudah disampaikan oleh Ketum PPP, Suharso Monoarfa, tidak ada perubahan UU Pemilu.
Berarti, UU Pilkadanya enggak perlu berubah juga. Konsekuensinya
begitu," tutur Arsul.
Dengan begitu, sementara ini ada 3
fraksi yang mendukung Pilkada digelar serentak di 2024, dan ada 4
fraksi yang menginginkan Pilkada tetap digelar secara normal, yaitu di 2022 dan 2023.
Sementara dua fraksi lain belum mengambil sikap
soal jadwal Pilkada.
Tiga fraksi yang ingin Pilkada di 2024 adalah PDIP (128 kursi), PPP (19 kursi), PAN
(44 kursi).
Sementara yang ingin Pilkada digelar 2022 dan 2023 ada empat fraksi, yaitu Golkar (85 kursi), NasDem (59 kursi), PKS (50 kursi), dan Demokrat (54 kursi).
Dua fraksi lain, yaitu
Gerindra (78 kursi) dan PKB (58 kursi), masih belum mengambil sikap.
Jika ditotal, fraksi yang setuju Pilkada digelar 2024, yaitu PDIP, PAN, dan PPP, bakal memiliki 191 kursi.
Sementara total fraksi yang ingin Pilkada di 2022 dan 2023, adalah 248 kursi.
Sehingga, sikap Gerindra dan PKB akan
sangat berpengaruh, karena perolehan suara mereka juga
besar. [qnt]