WahanaNews.co | Jaksa Penuntut Umum menghadirkan ahli hukum pers, Dr Nurlis Effendi untuk menyampaikan pandangannya dalam persidangan perkara 'Jin Buang Anak' di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (4/8).
Persidangan memasuki babak penajaman perbedaan penerapan hukum antara pers dan narasumber. Permasalahan hukum dalam perkara tersebut merujuk pada akun Youtube Bang Edy Channel yang memposting konten berupa pernyataan Edy Mulyadi yang menyebut lokasi IKN (Ibu Kota Negara) di Kalimantan Timur sebagai tempat 'jin buang anak'.
Baca Juga:
Ketum PWI Pusat Hendry Ch Bangun: Pers Harus Berwawasan Kebangsaan dan Menjaga Integritas di Era Post-Truth
Pernyataan itu mengantarkan Edy Mulyadi ke meja hijau setelah dilaporkan oleh Suku Dayak. Jaksa mendakwa Edy Mulyadi dengan pasal pidana tentang ujaran kebencian berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan).
Selain itu menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, serta menyiarkan berita yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan melalui media elektronik.
Edy Mulyadi didakwa melanggar Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana dan Undang-Undang Informasi dan Transkasi Elektronik. Edy Mulyadi membela diri, menyebut pernyataannya itu sebagai bagian dari profesinya sebagai jurnalis.
Baca Juga:
Bahaya Doxing: Ancaman terhadap Keselamatan Jurnalis dan Kualitas Informasi Publik
Karena itu jaksa menghadirkan saksi ahli hukum pers untuk mengurai secara terang benderang mengenai kegiatan jurnalistik dalam perspektif pers yang merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Sebetulnya, Undang-Undang Pers adalah pemandu utama bagi pers nasional. Syarat utamanya adalah pers wajib berbadan hukum Indonesia. Jadi sangat jelas bahwa Youtube tidak termasuk pers, melainkan media sosial yang tidak dapat diukur dengan hukum pers," kata Nurlis yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Bandar Lampung.
Undang-Undang Pers hanya memberi perlindungan hukum bagi pers dan wartawan yang sedang menjalankan aktivitas jurnalistiknya.