b. Memahami budaya beretika yang
terjadi di ruang digital dengan menginventarisir berbagai permasalahan dan
dampak yang terjadi di masyarakat.
c. Mengedepankan upaya preemtif dan
preventif melalui virtual police dan virtual alert yang bertujuan untuk
memonitor, mengedukasi, memberikan peringatan, serta mencegah masyarakat dari
potensi tindak pidana siber.
Baca Juga:
Revisi UU ITE Jilid II Resmi Berlaku, Jokowi Teken pada 2 Januari 2024
d. Dalam menerima laporan dari
masyarakat, penyidik harus dapat dengan tegas membedakan antara kritik, masukan,
hoaks, dan pencemaran nama baik yang dapat dipidana untuk selanjutnya
menentukan langkah yang akan diambil. Baca juga: Kapolri Terbitkan
Telegram Pedoman Penanganan Perkara UU ITE.
e. Sejak penerimaan laporan, agar
penyidik berkomunikasi dengan para pihak terutama korban (tidak diwakilkan) dan
memfasilitasi serta memberi ruang seluas-luasnya kepada para pihak yang
bersengketa untuk melaksanakan mediasi.
f. Melakukan kajian dan gelar
perkara secara komprehensif terhadap perkara yang ditangani dengan melibatkan
Bareskrim/Dittipidsiber (dapat melalui zoom meeting) dan mengambil keputusan
secara kolektif kolegial berdasarkan fakta dan data yang ada.
Baca Juga:
DPR Ketok Palu Revisi UU ITE, Simak Poin Perubahannya
g. Penyidik berprinsip bahwa hukum
pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimatum remidium) dan
mengedepankan restorative justice dalam penyelesaian perkara.
h. Terhadap para pihak dan/atau
korban yang akan mengambil langkah damai agar menjadi bagian prioritas penyidik
untuk dilaksanakan restorative justice terkecuali perkara yang bersifat berpotensi
memecah belah, SARA, radikalisme, dan separatisme.
i. Korban yang tetap ingin
perkaranya diajukan ke pengadilan namun tersangkanya telah sadar dan meminta
maaf, terhadap tersangka tidak dilakukan penahanan dan sebelum berkas diajukan
ke JPU agar diberikan ruang untuk mediasi kembali.