Lebih lanjut, David meminta agar pembentuk UU mempertegaspenjelasan dari pasal-pasal yang
dinilai bermasalah bagi publik itu melalui revisi UU ITE,
sehingga tidak terjadi multitafsir dalam implementasi para penegak hukum.
Ia menjelaskan, dalam teori hukum, dikenal beberapa
istilah "metoda interpretasi hukum", seperti hermaunetik, gramatikal, historis,
dan lain-lain.
Baca Juga:
DPR Ketok Palu Revisi UU ITE, Simak Poin Perubahannya
"Pertanyaannya, metoda interpretasi mana yang mau
dipakai? Apakah semuanya mau dipakai dalam pedoman?" cetusnya.
Apalagi, David mengingatkan, metoda interpretasi hukum
itu sendiri sebetulnya adalah domainnya hakim.
Bahkan, menurutnya, hakim pun "dibatasi" dalam memakai
hak interpretasi itu.
Baca Juga:
PLN Katakan Produksi Hidrogen Hijau Jadi Bahan Bakar Alternatif di Masa Depan
Hakim hanya "boleh" melakukan interpretasi terhadap
pasal-pasal yang tidak jelas, dan itu pun berbeda di setiap kasusnya.
"Maka, saya mengingatkan agar para Menteri dan
kelembagaan yang terkait dengan UU ITE tidak membuat istilah-istilah yang tidak
dikenal dalam hukum," katanya.
Ia mengaku sangat setuju dengan saran Presiden Jokowi,
yang menyebutkan kalau memang UU ITE itu banyak pasal karetnya, maka harus
direvisi.