WahanaNews.co, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra menegaskan pemerintahan Prabowo akan mengkaji seluruh rekomendasi dan temuan pemerintah-pemerintah terdahulu soal peristiwa 98.
Hal tersebut disampaikan Yusril saat mengklarifikasi pernyataan awalnya bahwa peristiwa 1998 bukan pelanggaran HAM berat. Yusril berkata yang akan dikaji adalah kategori pelanggaran HAM berat dari pemerintah sebelumnya terkait peristiwa 98.
Baca Juga:
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari PBB, Fahri Bachmid Jadi Penjabat Ketum
"Ya, kategori seperti itu memang sudah dikemukakan dan kategori-kategori itu kan sudah dibuat keputusan oleh pemerintah yang lalu. Pemerintah yang sekarang kan belum. Kan ini baru sama sekali ya dibentuk koordinator HAM ini," kata Yusril di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (22/10) melansir CNN Indonesia.
Dan tidak ada salahnya kalau kami memang pelajari apa yang dirumuskan Pemerintah yamg lalu dan apa juga yang telah direkomendasikan oleh Komnas HAM dan juga pandangan-pandangan, masukan-masukan yang diberikan oleh masyarakat," imbuhnya.
Dia berkata akan berkoordinasi dengan Menteri HAM Natalius Pigai. Ia juga akan mendengar kembali pernyataan Komnas HAM.
Baca Juga:
Yusril Ungkap Wacana Penambahan Jumlah Kementerian dari 34 Menjadi 40
"Percayalah bahwa pemerintah punya komitmen menegakkan masalah-masalah HAM itu sendiri," ujarnya.
Sebelumnya, Yusril mengklarifikasi pernyataannya tentang peristiwa 98 bukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Yusril merasa pernyataannya disalahpahami. Dia menjelaskan ulang pernyataan tersebut.
"Kemarin tidak begitu jelas apa yang ditanyakan kepada saya apakah terkait masalah genocide ataukah ethnic cleansing? Kalau memang dua poin itu yang ditanyakan, memang tidak terjadi pada waktu 1998," kata Yusril.
Yusril mengaku paham betul Undang Pengadilan HAM karena ikut merumuskan. Dia juga mengaku paham betul soal peristiwa 98 karena menjadi bagian dalam pemerintahan saat itu.
"Jadi cukup mengerti tentang persoalan ini dan itu menjadi concern kita bersama-sama ya. Jadi jangan ada anggapan bahwa kita enggak peduli apa yang terjadi di masa lalu," ucapnya.
Sebelumnya, publik menyoroti pernyataan Yusril tentang peristiwa 98. Dia menyebut tidak ada pelanggaran HAM berat.
"Dalam beberapa dekade terakhir ini hampir bisa dikatakan tidak ada kasus-kasus pelanggaran HAM berat," ucap Yusril kemarin.
"Enggak," ujarnya saat ditanya apakah peristiwa 98 termasuk pelanggaran HAM berat.
Mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan Yusril tidak berwenang menyebut peristiwa 98 bukan pelanggaran HAM berat. Ia menjelaskan berdasar Undang-undang, yang berhak menyatakan suatu peristiwa termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak adalah Komnas HAM.
"Menurut undang-undang, menurut TAP MPR, pelanggaran HAM berat itu harus diselidiki. Sesudah diselidiki, ada 18 pelanggaran HAM berat, 5 sudah diadili, tapi 34 tersangkanya itu bebas semua," kata Mahfud di Kantor Kemhan, Jakarta, Selasa (22/10).
"Jadi yang boleh menyatakan pelanggaran HAM berat itu terjadi atau tidak terjadi, tentu bukan Menkumham, yang boleh mengatakan itu hanya Komnas HAM menurut undang-undang," imbuh dia.
Menurutnya, Komnas HAM telah menyatakan peristiwa 98 masuk dalam pelanggaran HAM berat. Oleh karenanya, saat menjabat sebagai Menko Polhukam, pemerintah mengakui peristiwa 98.
"Maka apa yang ditetapkan oleh Komnas HAM kita laksanakan, seperti yang 12 yang sudah diakui oleh Presiden dan diapresiasi oleh PBB, karena itu ditetapkan oleh lembaga yang Menurut undang-undang berwenang untuk menetapkan," ujarnya.
Amnesty International Indonesia (AII) meragukan komitmen HAM Prabowo terkait pernyataan Yusril.
"Tak sepantasnya pejabat pemerintah mengeluarkan pernyataan yang keliru tentang hak asasi manusia. Apalagi dari pejabat yang salah satu urusannya soal legislasi bidang HAM," ujar Direktur Eksekutif AII Usman Hamid melalui keterangan tertulis, Senin (21/10).
Menurut Usman, pernyataan Yusril tidak mencerminkan pemahaman Undang-undang yang benar khususnya mengenai pengertian pelanggaran HAM berat pada penjelasan Pasal 104 Ayat (1) dari UU 39/1999 tentang HAM maupun Pasal 7 UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Pernyataan itu juga, terang Usman, mengabaikan laporan-laporan resmi pencarian fakta tim gabungan bentukan pemerintah dan penyelidikan pro-justisia Komnas HAM atas sejumlah peristiwa pada masa lalu yang menyimpulkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan atau crimes against humanity.
"Jadi, pelanggaran HAM yang berat menurut hukum nasional bukan hanya genosida dan pembersihan etnis," kata dia.
[Redaktur: Alpredo Gultom]