WahanaNews.co, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD menjelaskan negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, kepada perusahaan.
Dia mengatakan surat keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah itu dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
Baca Juga:
Menko Polhukam Pastikan Layanan PDNS 2 Kembali Normal Bulan Ini
“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/9/2023) melansir ANTARA.
“Sebelum investor masuk, tanah ini rupanya belum digarap dan tidak pernah ditengok sehingga pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, SK haknya itu sudah dikeluarkan pada 2001, 2002 secara sah,” kata Mahfud MD.
Dia melanjutkan situasi menjadi rumit ketika investor mulai masuk ke Pulau Rempang pada 2022.
Baca Juga:
Satgas dan Menkominfo harus Didukung untuk Berantas Judi Online
“Ketika kemarin pada 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian LHK (Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” kata Mahfud MD.
Oleh karena itu, kekeliruan tersebut pun diluruskan sehingga hak atas tanah itu masih dimiliki oleh perusahaan sebagaimana SK yang dikeluarkan pada 2001 dan 2002.
“Proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan. Bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya, bukan. Tapi proses, karena itu sudah lama, sudah belasan tahun orang di situ tiba-tiba harus pergi. Meskipun, menurut hukum tidak boleh, karena itu ada haknya orang, kecuali lewat dalam waktu tertentu yang lebih dari 20 tahun,” katanya.
Dalam kesempatan yang sama, saat ditanya mengenai status tanah yang kemungkinan merupakan tanah ulayat, Mahfud mengaku tidak mengetahui itu.
“Gak tahu saya. Gak tahu. Pokoknya proses itu secara sah sudah dikeluarkan oleh pemerintah,” kata Mahfud MD.
Jika memang ada tanah ulayat di Pulau Rempang, Mahfud menyebut kemungkinan datanya ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Terkait kekeliruan yang diduga dilakukan KLHK, Mahfud menjelaskan ada 5–6 surat keputusan yang dikeluarkan pihak kementerian tetapi itu telah dibatalkan.
“Kalau tidak salah 5–6 keputusan dibatalkan semua, karena memang salah sesudah dilihat dasar hukumnya. Itu lebih tepat dilakukan daripada misalnya dibiarkan berlarut-larut karena haknya itu ada dan mau investasi orang sekarang, banyak investor mau masuk, ternyata tanahnya nggak ada sehingga harus dikosongkan dulu. Itu saja masalahnya sebenarnya,” kata Mahfud MD.
[Redaktur: Alpredo Gultom]