WahanaNews.co | Pakar
hukum tata negara Fery Amsari mengungkapkan kekhawatirannya, bahwa amandemen
UUD 1945 akan jadi pintu masuk kepentingan elite politik.
Baca Juga:
Anggota DPD RI Komeng, Sebut Prabowo Betul-betul Ingin Menyatukan Semua Pihak
Mulai dari penambahan wewenang MPR sampai perubahan masa
jabatan presiden.
Ia menyebut, jika itu terjadi maka akan merusak cita-cita
dari perbaikan sistem konstitusi yang dibangun sejak reformasi.
"Akan ada potensi bola salju kepentingan di mana bola
salju itu menggelinding dan membesar dan itu bisa masuk ke kepentingan kepentingan
politik jangka pendek yang tidak baik bagi ketatanegaraan bagi kita. Seperti
isu periode ketiga, pemilihan presiden melalui MPR," ucap Fery, belum lama
ini.
Baca Juga:
Survei: Mayoritas Konsumen Indonesia Pilih Merek Berdasarkan Sikap Politik
Fery melanjutkan, penambahan masa jabatan presiden dan
wewenang MPR akan berbahaya. Selain itu, ia juga menyebut itu tidak sehat dan
seakan kembali ke orde baru.
Ia mengatakan apa lagi jika ditambah dengan kehadiran
Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), yang dinilai serupa dengan GBHN Orde Baru,
dimanfaatkan untuk membungkam kebebasan hak-hak yang telah ditetapkan oleh
konstitusi.
"Nanti akan dikatakan KPK bertentangan GBHN, bahkan
presiden bisa bertentangan dengan GBHN ini ujung-ujungnya mengembalikan MPR
sebagai lembaga tertinggi," katanya.
Fery mengatakan wacanan amandemen itu harus diwaspadai.
Sebab, kemungkinan poin-poin tadi untuk dimasukan akan selalu ada meskipun
elite politik saat ini menampiknya.
Oleh sebab itu, Fery mengkritik, jika memang akan dilakukan
amandemen, maka harus dilakukan secara transparan. Ia menyebut berbagai usulan
dari DPR, MPR, dan DPD harus dibeberkan ke publik secara detail.
Ia mengatakan, selama ini beberapa perubahan yang berkaitan
dengan hukum sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Fery beranggapan, di
saat itu lah kemungkinan kepentingan elit politik dimasukan.
"Harus diingat ada ruang selalu berupaya dilakukan
Ketika perubahan di saat pembahasan. Dan ruang itu tidak jelas juntrungannya
apa, karena mereka bisa memasukan kanyak hal," ucapnya.
Bukan waktu yang
tepat
Fery mengatakan, saat ini bukan waktu yang tepat untuk
melakukan amandemen UUD 1945. Ia menilai seharusnya pemerintah fokus pada
penanganan pandemi.
"Kenapa kemudian membahas perubahan UUD di masa
pandemi? cenderung pembahasan di masa masa dalam keadaan genting berbahaya
seperti ini lebih sarat kepentingan politiknya daripada kepentingan
publik," ujarnya.
Terpisah, Peneliti poltik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Wasisto Raharjo Jati berpandangan serupa. Ia mengatakan, amandemen
dilakukan ketika ada perubahan yang sangat besar atau terdesak.
"Kita belum nemu konteks yang menjadi legitimasi UUD
harus diubah," ucapnya.
Sebelumnya, DPR, MPR dan presiden kompak mendorong adanya
amandemen terbatas UUD 1945. Ketua MPR, Bambang Soesatyo mengatakan amandemen
itu hanya untuk menghadirkan PPHN.
Ia juga mengatakan, presiden berpesan agar amandemen tidak
melebar ke hal lain, termasuk perubahan masa jabatan presiden. Sementara itu,
wakil ketua DPD RI, Sultan Najamudin mengusulkan agar pemilihan presiden dan
wakil presiden kembali dipilih oleh MPR. [rin]