WAHANANEWS.CO, Jakarta - Proses Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang tengah berlangsung di sejumlah daerah belum sepenuhnya menyelesaikan polemik pasca pemilu.
Ketua Komisi II DPR, Rifqinizamy Karsayuda, mengungkapkan bahwa masih banyak laporan yang masuk ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), termasuk dugaan praktik politik uang hingga pelanggaran-pelanggaran lainnya.
Baca Juga:
Pemkot Jambi Upayakan Kenaikan Honor Ketua RT Secara Bertahap dan Bijaksana
"Kami telah meminta kepada seluruh penyelenggara pemilu untuk betul-betul menegakkan hukum kepemiluan. Jika terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematik, dan masif, maka biarlah proses hukum yang akan menentukan," ujar Rifqi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (21/4/2025).
Ia menekankan bahwa penyelenggaraan PSU ini seharusnya bisa segera dituntaskan, mengingat masih ada sejumlah daerah yang belum memiliki kepala daerah definitif, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
"Kalaupun sampai adanya gugatan kembali atas hasil PSU, saya berharap Mahkamah Konstitusi (MK) tidak menghadirkan putusan yang memerintahkan dilakukan PSU di atas PSU. Indonesia dulu pernah punya praktik itu. Karena Indonesia tidak akan mendapatkan kepala daerah yang definitif," ucap Rifqi mengingatkan.
Baca Juga:
KPU: PSU di 8 Kabupaten/Kota Berjalan Tertib dan Lancar
Menurutnya, jika PSU terus dilakukan berulang-ulang, hal itu justru mengorbankan kepastian hukum dan stabilitas pemerintahan daerah. Ia menyoroti bahwa masa jabatan kepala daerah hasil PSU pun akan semakin pendek.
"Prioritasisasi kepala daerah kita tidak sampai lima tahun. Artinya, dari hasil PSU ini saja mungkin hanya menjabat selama empat setengah tahun. Kalau ada PSU di atas PSU, maka bisa jadi masa jabatan tinggal tiga setengah tahun," jelasnya.
Ia juga menyinggung soal beban anggaran yang ditimbulkan akibat PSU. Menurutnya, di tengah keterbatasan fiskal, biaya pelaksanaan PSU cukup memberatkan pemerintah daerah.
"Yang kedua, di tengah efektivitas dan efisiensi anggaran, kita jujur sangat berat untuk membiayai PSU, apalagi PSU yang keseluruhan. Di kabupaten/kota dengan pemilih yang kurang dari 200 ribu saja, itu butuh biaya kurang lebih sekitar Rp20 miliar. Kalau sampai pemilihnya 400 ribu berarti 40 miliar. Di tengah anggaran kabupaten/kota dan provinsi yang terbatas, kami tidak menginginkan ada PSU," tegas Rifqi.
Sebagai solusi atas kemungkinan terburuk, yakni jika Mahkamah Konstitusi menemukan adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematik, dan masif, Rifqi mengusulkan agar MK tidak lagi memerintahkan PSU ulang, tetapi langsung menetapkan calon kepala daerah dengan suara terbanyak berikutnya.
"Tapi kalau terburuk, MK menemukan adanya pelanggaran terstruktur sistematik dan masif, saya memohon juga kepada MK untuk memberikan putusan misalnya mendiskualifikasi calon itu dan memutuskan calon dengan perolehan setelah itu, untuk kemudian ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah," tandasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]