WahanaNews.co | Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, pihaknya telah menetapkan sebanyak 127 kepala daerah
sebagai tersangka kasus korupsi.
Jumlah ini merupakan akumulasi sejak
KPK didirikan pada 2003 lalu.
Baca Juga:
Surat MAKI Minta Bantu Mutasi PNS Papua ke Jawa, Ini Respons Wakil Ketua KPK
Di urutan ke-127 ini, tercatat
Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, yang ditetapkan sebagai tersangka.
Ia diduga terlibat kasus suap
pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulsel.
Nurdin disebut KPK terkena operasi
tangkap tangan (OTT) di Kota Makassar, Jumat (26/2/2021) malam
menjelang dini hari.
Baca Juga:
Terlibat Pemerasan Tahanan di Rutan, KPK Pecat 66 Pegawai
Nurdin pun dijebloskan ke Rumah
Tahanan (Rutan) KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan, kasus korupsi yang banyak menyeret kepala daerah itu bukan disebabkan oleh faktor tunggal.
KPK diminta menelusuri dan membuktikan
adanya pihak lain yang turut menikmati uang tersebut, baik individu, atau
organisasi seperti partai politik.
"Jika terbukti, maka pihak-pihak
tersebut patut untuk ikut dijerat," tegas Egi, dalam
keterangannya, Ahad (28/2/2021).
Penelusuran mengenai aliran dana suap
ini dinilai penting, mengingat biaya politik dalam
kontestasi Pemilu di Indonesia teramat mahal.
Untuk menutupi kebutuhan Pemilu, kandidat pejabat publik seperti kepala daerah kerap
menerima bantuan dari pengusaha.
Kandidat juga perlu memberikan mahar
politik kepada partai politik.
"Sehingga saat menjadi pejabat
publik, ia akan melakukan berbagai upaya untuk melakukan 'balas budi' ataupun
memfasilitasi permintaan dari pihak-pihak tersebut. Upaya tersebut diantaranya
adalah praktik-praktik korupsi," katanya.
ICW sangat menyayangkan tindak pidana
yang diduga dilakukan Nurdin. Hal ini lantaran Nurdin selama ini
dikenal sebagai figur bersih dan inovatif.
ICW menilai, kasus yang menjerat
Nurdin mengajarkan pengawasan publik tidak sepatutnya melemah ketika terdapat
sosok yang dikenal bersih dan inovatif menduduki posisi pejabat publik.
Pejabat publik memiliki kewenangan
yang besar sehingga potensi penyelewengan selalu terbuka lebar.
"Pengawasan ini krusial jika
melihat kecenderungan publik yang seringkali melonggarkan pengawasannya atau
permisif terhadap perilaku pejabat publik yang dikenal sebagai sosok "orang baik"," tegas Egi.
Hal senada disampaikan Ketua KPK, Firli Bahuri.
Jenderal Polisi bintang tiga itu
menyayangkan dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur Sulawesi Selatan itu, karena telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan, bukan hanya
oleh rakyat.
Terlebih, beberapa lembaga masyarakat
juga telah menyematkan penghargaan yang seharusnya dijadikan amanah oleh yang
bersangkutan.
"Kami akan terus mengingatkan
kepada seluruh penyelenggara negara, khususnya kepala daerah, untuk tetap
memegang teguh janji dan sumpah jabatan yang diucapkan saat dilantik,"
tegas Firli.
Selama era kepemimpinan Presiden Joko
Widodo, tercatat adanya peningkatan penindakan KPK terhadap kepala daerah.
Sejak Jokowi menjabat hingga kini,
sebanyak 75 kepala daerah terjerat kasus korupsi.
Sementara pada era Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), tercatat 52 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Sebagian besar kasus yang ditangani
KPK berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan kewenangan,
sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Mayoritas, korupsi kepala daerah itu
terjadi di sektor infrastruktur.
Menyikapi data angka dari KPK tersebut, Koordinator Relawan Martabat
Jokowi-Amin, Arnol Sinaga, menyatakan kelegaannya, karena ternyata penegakan
hukum sudah semakin tak pandang bulu lagi.
"Meningkatnya angka kepala daerah terjerat kasus korupsi di era Jokowi
menunjukkan gejala membaiknya penegakan hukum," kata Arnol kepada WahanaNews, Minggu (28/2/2021) malam.
Ia meyakini itu, karena menurutnya "tidak terjerat" bukanlah otomatis
berarti "tidak melakukan".
"Bisa saja tidak ketahuan, tidak terbongkar, atau bahkan tidak dibongkar. Fenomena ini bisa
menjadi warning bagi para kepala
daerah bahwa Jokowi tidak ingin main-main dengan penegakan hukum. Waspadalah,"
pungkas Arnol, advokat yang juga aktif di Pengurus Pusat BPPH (Badan Penyuluhan
dan Pembelaan Hukum) Pemuda Pancasila. [qnt]