Melihat ketergantungan itu, maka diharapkan media sosial dapat bersih dari berita bohong maupun ujaran kebencian berbasis politik identitas.
Hal tersebut dianggap Arfianto menjadi penting agar informasi yang beredar dapat menjadi ruang sosialisasi dan pendidikan politik yang baik bagi pemilih muda.
Baca Juga:
Kondusif di Tahun Politik, Pimpinan Media Nasional Apresiasi Kinerja Pj Gubernur Sulsel
"Kedua, anak muda yang mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang dinamika sosial politik dari media sosial, menjadikannya sebagai pemilih yang rasional. Pemilih rasional diasumsikan mempunyai kemampuan untuk menilai tentang isu-isu maupun kandidat yang diajukan dalam Pemilu," paparnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa sebagai pemilih yang rasional, anak muda akan cenderung lebih evaluatif dan kritis terhadap dinamika sosial politik hari ini.
Hal tersebut terlihat dari beberapa peristiwa yang terjadi beberapa waktu belakangan.
Baca Juga:
Tahun Politik, Ekonom Wanti-wanti Investasi Asing Turun
Misalnya, anak muda melakukan aksi penolakan di media sosial, serta aksi unjuk rasa besar-besaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK), RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), dan RUU Cipta Kerja.
"Jika dikaitkan dengan jelang Pemilu dan Pilkada Serentak 2024, bisa jadi pemilih muda akan mengevaluasi partai-partai atau kandidat yang tidak sejalan dengan penilaian mereka dan mereka mungkin tidak lagi memilih partai-partai tersebut di tahun 2024," paparnya.
Berdasarkan hasil tersebut, Arfianto menyampaikan sejumlah rekomendasi.