WahanaNews.co, Jakarta - Rumah Advokat PDI Perjuangan (PDIP) Donny Tri Istiqomah di Jagakarsa, Jakarta Selatan, digeledah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Penggeledahan terkait dengan penyidikan kasus dugaan suap penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR 2019-2024 yang menjerat Harun Masiku. Upaya paksa tersebut dilakukan pada Rabu, 3 Juli 2024.
Baca Juga:
Cari Bukti Korupsi Tambang, Kejati Kaltim Geledah Kantor Pemerintah
Hal itu diketahui dari langkah Tim Hukum DPP PDIP yang melaporkan penyidik Rossa Purbo Bekti ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK hari ini, Selasa (9/7). Belum ada keterangan resmi dari KPK mengenai penggeledahan tersebut.
Anggota Tim Hukum PDIP Johannes Tobing menilai Rossa telah melanggar hukum karena melakukan penggeledahan tanpa surat perintah dari pimpinan KPK.
"Kami dari Tim Hukum DPP PDIP hari ini kedatangan kami adalah untuk kedua kalinya melaporkan saudara Rossa atas pelanggaran etik berat. Nah, jadi tanggal 3 Juli, hari Rabu kemarin, penyidik KPK yang dipimpin oleh saudara Rossa itu berjumlah 16 orang datang ke rumah Donny Tri Istiqomah," ujar Johannes di Kantor Dewas KPK, Jakarta, Selasa (9/7), melansir CNN Indonesia.
Baca Juga:
Kasus Dugaan Korupsi, Kejagung Benarkan Geledah KLHK
Johannes mengatakan penyidik Rossa dkk melakukan pemeriksaan, penggeledahan hingga penyitaan selama sekitar empat jam. Ia mengklaim Rossa melakukan intimidasi di hadapan anak dan istri Donny dalam proses tersebut.
"Kami mendapat informasi bahwa penggeledahan dan penyitaan itu tanpa didasari surat perintah, bahkan ini tidak ada izin dari ketua pengadilan untuk melakukan penggeledahan itu sebagaimana diatur oleh Undang-undang," ucap dia.
Johannes menambahkan ada gratifikasi hukum yang diduga dijanjikan Rossa kepada Donny. Hal inilah yang turut dilaporkan kepada Dewas KPK.
"Gratifikasi hukum itu ada dalam bujuk rayu yang dilakukan oleh saudara Rossa kepada saudara Donny. Maka, kenapa kami menyebut gratifikasi dengan begini, dipaksa nih saudara Donny, saudara Donny sudahlah ngaku saja, ngomongnya sih begini: 'Pak Donny mengaku saja lah, jujur saja lah bicara apa adanya terkait perkara Harun Masiku ini'," ucap Johannes.
"Nah, maka saudara Donny menyampaikan 'Apa yang mau harus saya jujur kan pak? Ini semuanya sudah dituangkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan waktu saya di KPK, sudah dibawa ke pengadilan, saya diperiksa, saya sudah berikan bukti dan (jadi) saksi, semua keterangan saya itu sudah seperti itu yang sebenarnya'," lanjut dia.
Johannes mengatakan tim penyidik KPK menyita empat handphone dari penggeledahan di rumah Donny tersebut. Dua handphone di antaranya milik istri Donny.
Pada tahun 2020 lalu, saat kasus ini terungkap lewat Operasi Tangkap Tangan (OTT), Donny pernah beberapa kali diperiksa sebagai saksi oleh KPK.
Saat itu, tim penyidik mendalami sumber uang Rp400 juta yang ditujukan kepada mantan Komisioner KPU RI yang kini sudah berstatus terpidana yaitu Wahyu Setiawan.
Adapun Donny yang pernah mendaftar sebagai calon legislatif PDIP Dapil Jawa Timur IV pada Pemilu 2019 ini menjadi satu dari delapan orang yang ditangkap tim KPK dalam OTT tersebut.
Sementara itu, Harun Masiku harus berhadapan dengan hukum lantaran diduga menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan agar bisa ditetapkan sebagai pengganti Nazarudin Kiemas yang lolos ke DPR namun meninggal dunia.
Ia diduga menyiapkan uang sekitar Rp850 juta untuk pelicin agar bisa melenggang ke Senayan. Adapun Wahyu yang divonis dengan pidana tujuh tahun penjara telah mendapatkan program Pembebasan Bersyarat sejak 6 Oktober 2023.
Terdapat dua orang lain yang juga diproses hukum KPK dalam kasus ini yaitu orang kepercayaan Wahyu yang bernama Agustiani Tio Fridelina dan Saeful Bahri.
Pada Kamis, 2 Juli 2020, jaksa eksekutor KPK Rusdi Amin menjebloskan Saeful Bahri ke Lapas Kelas IA Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Berdasarkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 18/Pid. Sus-Tpk/2020/PN. Jkt. Pst tanggal 28 Mei 2020, Saeful divonis dengan pidana 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.
Sedangkan Agustiani divonis dengan pidana empat tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider empat bulan kurungan.
[Redaktur: Alpredo Gultom]