WahanaNews.co, Jakarta - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyesalkan adanya kegiatan yang mengatasnamakan “Rekonsiliasi GMNI” yang digelar secara sepihak di Bali. DPP GMNI menilai agenda tersebut tidak sah karena mengabaikan mekanisme organisasi serta tidak melibatkan kepemimpinan resmi hasil Kongres XXII GMNI di Bandung.
Ketua Umum DPP GMNI Sujahri Somar bersama Sekretaris Jenderal Amir Mahfut menegaskan bahwa persatuan GMNI tidak dapat dibangun hanya melalui kesepakatan elite di tingkat pusat.
Baca Juga:
GMNI Cilegon Kecam Dugaan Pembuangan Sampah Industri dan Lemahnya Pengawasan DLH
Persatuan sejati, menurut mereka, harus melibatkan seluruh struktur organisasi mulai dari DPC, DPD, hingga DPP, serta ditempuh melalui musyawarah dan mufakat sebagaimana diatur dalam AD/ART GMNI.
Suharji Somar menegaskan bahwa DPP GMNI tetap berpegang pada hasil Kongres XXII GMNI Bandung yang secara sah menetapkan Sujahri Somar sebagai Ketua Umum dan Amir Mahfut sebagai Sekretaris Jenderal. Kongres tersebut didukung oleh 89 surat rekomendasi DPC dan DPD definitif, sehingga memiliki legitimasi organisasi yang kuat.
Mereka menyayangkan masih adanya kelompok kader yang tidak menghormati keputusan kongres dan justru melakukan langkah-langkah yang dinilai mencederai AD/ART. Tindakan tersebut disebut berpotensi memperlebar perpecahan di tubuh GMNI dan merusak nilai perjuangan “Pejuang-Pemikir, Pemikir-Pejuang”,” ujarnya.
Baca Juga:
Kesbangpol Temanggung Undang Organisasi Masyarakat Diskusikan Pembentukan Rumah Kebangsaan Cipayung Plus
Meski demikian, Ia menegaskan komitmennya untuk menjaga keutuhan organisasi. Upaya tersebut dilakukan dengan membuka ruang komunikasi di seluruh tingkatan organisasi, mulai dari DPC hingga DPD, guna mewujudkan persatuan GMNI yang utuh dan konstitusional.
Menurutnya, klaim rekonsiliasi yang dilakukan secara sepihak bukanlah jalan menuju persatuan, melainkan berpotensi menjadi sandiwara politik yang eksklusif dan dangkal. Narasi persatuan yang dibangun tanpa menghormati hasil kongres dan kedaulatan kader dinilai bertentangan dengan semangat Marhaenisme.
Ia juga menegaskan bahwa mereka tidak menolak persatuan, namun menolak persatuan palsu yang dibangun di atas pengingkaran konstitusi organisasi. Persatuan sejati, kata Suharji hanya dapat terwujud apabila seluruh pihak mengakui Kongres XXII Bandung sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan organisasi.
Mengacu pada AD/ART GMNI, musyawarah dan mufakat merupakan roh gerakan organisasi, sementara kedaulatan tertinggi berada di tangan anggota dan diwujudkan melalui kongres. Oleh karena itu, setiap upaya rekonsiliasi yang tidak melibatkan struktur sah dan pimpinan hasil kongres dinilai tidak memiliki legitimasi moral maupun organisatoris,” jelasnya.
Ia juga menyoroti adanya penolakan terbuka dari sejumlah kader, termasuk dari wilayah Sulawesi, terhadap agenda rekonsiliasi versi Arjuna–Risyad. Penolakan tersebut menjadi bukti bahwa agenda tersebut tidak lahir dari kehendak kolektif kader GMNI secara nasional.
Sebagai penegasan, DPP GMNI menyerukan kepada seluruh DPC, DPD, dan kader GMNI se-Indonesia untuk menjadikan AD/ART sebagai kompas perjuangan, mengakui hasil Kongres XXII Bandung, kembali fokus pada kerja-kerja ideologis Marhaenisme, serta menjaga independensi organisasi dari kepentingan politik praktis.
GMNI bukan milik elit, melainkan milik kader. Kedaulatan kader tidak untuk dinegosiasikan. Persatuan harus dibangun dengan kejujuran, keberanian, dan ketaatan pada konstitusi organisasi,” tegasnya.
[Redaktur: Alpredo]