Pasal itu menjelaskan bahwa seseorang
yang berhadapan dengan hukum bisa ditahan ketika ada keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran, seperti tersangka melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Namun, menurut Aditia, dalam banyak
surat penahanan, penyidik hanya menuliskan frasa "adanya
kekhawatiran", berbeda dengan yang tertuang dalam
KUHAP.
Baca Juga:
Kebakaran Gedung LBH Jakarta, Tak Ada Korban Jiwa
"Jadi, frasa 'adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran' itu hampir dihilangkan, sehingga digantikan kalimat
dengan 'adanya kekhawatiran'. Dengan 'adanya kekhawatiran', unsur ini berubah
menjadi lebih subjektif," imbuhnya.
Riset YLBHI juga menemukan bahwa
penahanan tidak dilakukan untuk kepentingan pemeriksaan.
Dari data 103 tersangka, hanya ada 29
tersangka yang diambil keterangannya setelah ditahan.
Baca Juga:
Beredar Film Dokumenter 'Dirty Vote', TKN: Narasinya Tak Masuk Akal
"74 tersangka tidak diambil
keterangannya setelah ditahan. Keterangan tersebut diambil sebelum
ditahan," pungkas Aditia.
Dalam riset mengenai praktik penahanan
tersebut, YLBHI pada akhirnya menemukan pelbagai pelanggaran hak atas
peradilan yang adil (fair trial).
Celah pada praktik penahanan itu di
antaranya berdampak pada over
kapasitas ruang tahanan, perekonomian tersangka dan keluarga, potensi pungutan
liar hingga beban anggaran pemerintah. [dhn]
Ikuti update
berita pilihan dan
breaking news WahanaNews.co lewat Grup Telegram "WahanaNews.co News Update" dengan install aplikasi Telegram di ponsel, klik
https://t.me/WahanaNews, lalu join.