Tapi, yang cukup penting, 4 Juli 1927, di
Bandung, Bung Karno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan tujuan
Indonesia merdeka sepenuhnya.
Gagasan tentang tujuan itu mendapat tantangan
keras dari teman-temannya karena rakyat dinilai belum siap dan akan langsung
ditumpas Belanda sebelum dimulai.
Baca Juga:
Peringati Bulan Bung Karno, Kader PDI-Perjuangan Jalan Sehat Bareng Tri Adhianto & Ono Surono
Tapi Bung Karno berteriak, "Rakyat sudah siap, Indonesia merdeka
sekarang, dan itu menjadi semboyan kita....Kita harus mengusahakan persatuan
nasional...Jangan bergerak pelan-pelan. Bukankah 350 tahun sudah cukup pelahan."
Ketika Bung Karno secara terbuka sering
berteriak tentang "negara kesatuan dan kata merdeka sekarang" di Bandung
(1922-1927) itu, Nusantara masih banyak dihuni kerajaan, kesultanan dan negara
di bawah kekuasaan feodalist, seperti negara Surakarta (Solo), Negara
Yogyakarta dan seterusnya.
Istilah "negara Surakarta dan negara Yogyakarta
" itu saya pinjam dari seorang keturunan ketujuh Pangeran Diponegoro, Ki Roni
Sodewo (51 tahun), ketika mengikuti kuliah umum Prof Dr Peter Carey, sejarahwan
Inggris, yang diselenggarakan Universitas Sam Ratulangi Manado, Rabu, 16 Juni
2021.
Baca Juga:
Bupati Karo Tinjau Proyek Pelebaran Jalan, Usulkan Pemugaran Akses ke Rumah Pengasingan Bung Karno
Setelah teriakan itu, 18 tahun kemudian, 17
Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan RI merdeka.
Pada 1967 Bung Karno lengser.
Dalam artikelnya, Sukarno dalam Perjalanan Bangsa,sejarahwan dari Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warmam Adam, mengatakan, "Ketika Bung Karno dijatuhkan dari kekuasaan,
negara kita memiliki utang 2,5 miliar dollar AS. Namun ketika presiden
penggantinya lengser tahun 1998, utang pemerintah dan swasta, yang diwariskan
kepada bangsa Indonesia meningkat 6000 persen, yaitu 150 dollar AS."