Masjid dan beduk sangat berarti bagi
saya setiap kali datang Ramadhan. Apalagi, zaman itu pada zaman kekuasaan Pak
Harto.
Ada kenangan khusus yang terus
melambai-lambai dalam ingatan ketika datang bulan puasa.
Baca Juga:
Berbagi Saat Ramadan, Mendag: Puasa Melatih Empati dan Kesalehan Sosial
"Di masjid sudah terdengar beduk
dipukul belum?" begitu
tanya saya kepada keluarga yang di kampung kala Ramadhan tiba.
Kalau dia jawab sudah, saya senang
sekaligus terharu. Saya bayangkan suara beduk itu ditabuh bertalu-talu dengan
ritmis. Dug... dug... dug...
Nah, pada masa kini kenangan itu
semakin menyengat ketika baca soal masjid zaman Pak Harto dalam bukunya Wali Brandal Tanah Jawa karya sejarawan
Australia, George Quinn.
Baca Juga:
PLN UP3 Cengkareng Jamin Pasokan Listrik Aman Saat Ramadhan
Dan, saya makin terkejut ketika dia
bercerita soal arti masjid bagi pemerintahan Orde Baru yang dikenal otoriter
itu.
Quinn, pada halaman 34 buku itu, sekonyong-konyong menulis begini:
...Pada tahun 1980-an, Presiden Soeharto --sang tangan besi--
bahkan mengucurkan uang negara untuk memugar Masjid Agung Demak.