Soeharto menghadiri peresmian selesainya pemugaran masjid, dan
pada kesempatan itu menyatakan pandangan resminya tentang peran Masjid Agung
(Demak) di Indonesia modern, sebagaimana dikemukakan kembali oleh sejarawan
Nancy Florida: Presiden Soeharto menyampaikan keyakinannya bahwa pemugaran
masjid bukanlah pemugaran uang negara atau suatu kemewahan, melainkan sebagai
bagian integral dari pembangunan dalam arti seluas-luasnya.
Presiden memandang pemugaran itu sebagai bagian dari upaya
pemupukan 'modal rohani' bangsa yang menjadi sumber modal kerja yang akan
mendorong kuat-kuat segala aspek pembangunan nasional'...
Baca Juga:
Berbagi Saat Ramadan, Mendag: Puasa Melatih Empati dan Kesalehan Sosial
Membaca tulisan George Quin itu kepala
saya berdenyut keras. Ada perasaan paradoks, pahit dan manis, getir, dan asin
di sana.
Uniknya, apa yang
dikatakan Pak Harto sebangun apa yang dikatakan DR Nurcholish Madjid bahwa Orde
Baru memang meminggirkan Islam secara politik, tapi pada sisi lain mampu
menghela umat Islam untuk bergerak maju secara kualitatif.
Kata Cak Nur, berkat Orde Baru, mulai
awal 1970-an, mulai muncul generasi Muslim terdidik dan secara perlahan secara sosial
mengisi wilayah tengah warga negara Indonesia.
Baca Juga:
PLN UP3 Cengkareng Jamin Pasokan Listrik Aman Saat Ramadhan
Memang pilihannya juga tidak enak
karena menjadikan Islam politik menjadi sesuatu yang diemohi.
Semboyannya yang terkenal: Islam Yes, Partai Islam No.
Nah, pada masa awal Ramadhan ini saya
pun merenung, memang Pak Harto punya banyak salah (sama dengan para mantan
presiden lainnya), tapi juga sama punya banyak jasanya (sama juga bagi para
mantan presiden lainnya) bagi kaum Muslim.