“Dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9 persen di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3 persen berusia kurang dari 30 tahun, 83,7 persen berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6 persen tidak bekerja, dan 53,5 persen lainnya bekerja secara informal,” lanjutnya.
Menurut Yulinda, perempuan dan anak merupakan pihak yang paling terdampak secara negatif dari praktik “kumpul kebo”. Dalam aspek ekonomi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi ibu dan anak sebagaimana diatur dalam hukum pernikahan dan perceraian.
Baca Juga:
Kumpul Kebo Mulai Mewabah di Sejumlah Wilayah, Ini Dampak Ngerinya
“Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya,” jelasnya.
Dari sisi kesehatan mental dan emosional, kohabitasi juga bisa menurunkan kepuasan hidup karena minimnya komitmen dan ketidakpastian masa depan hubungan.
Berdasarkan data PK21, sebanyak 69,1 persen pasangan kohabitasi mengalami konflik ringan seperti saling diam, 0,62 persen mengalami konflik berat seperti pisah ranjang hingga pisah tempat tinggal, dan 0,26 persen lainnya mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Baca Juga:
Realitas Kumpul Kebo, Antara Pilihan Hidup dan Konsekuensi Jangka Panjang
Selain itu, anak-anak yang lahir dari hubungan kohabitasi rentan mengalami gangguan pertumbuhan, masalah kesehatan, hingga tekanan emosional akibat stigma sosial.
“Anak dapat mengalami kebingungan identitas dan memiliki perasaan tidak diakui karena adanya stigma dan diskriminasi terhadap status ‘anak haram’, bahkan dari anggota keluarga sendiri,” tutur Yulinda.
“Hal ini menyulitkan mereka untuk menempatkan diri dalam struktur keluarga dan masyarakat secara keseluruhan,” tambahnya.