WahanaNews.co | Hari ini Minggu, 9 April 2023, TNI Angkatan Udara (AU) menapaki usia 77 tahun, dengan mengusung tema "Profesional, Tangguh dan Modern sebagai Angkatan Udara yang Disegani di Kawasan".
TNI AU secara historis tak bisa dipisahkan dari pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 23 Agustus 1945. Pembentukan BKR bertujuan memperkokoh armada udara yang pada saat itu sangat kekurangan pesawat terbang dan fasilitas-fasilitas lainnya.
Baca Juga:
Kapuspen TNI Bantah Perwiranya Jadi Beking Tersangka Perundungan Anak SMA di Surabaya
Namun di tengah keterbatasan pesawat, justru tampil para prajurit muda yang menjadi pelopor kedirgantaan di Tanah Air. Salah satunya Halim Perdanakusuma, yang namanya dibadikan menjadi lapangan udara di Jakarta.
Dikutip dari laman TNI AU, Abdul Halim Perdanakusuma nama lengkapnya, lahir di Sampang Madura pada 18 November 1922. Ayahnya bernama Haji Abdulgani Wongsotaruno, Ibunya bernama Raden Ayu Aisah, putri Raden Ngabeki Notosubroto, seorang wedana di Gresik, Jawa Timur.
Halim Perdanakusuma merupakan anak ketiga dari lima bersaudara. Ayahnya seorang Patih dari Sampang, Madura yang juga seorang penulis. Salah satu karyanya adalah “Batara Rama Sasrabahu” yang ditulis dalam bahasa Madura.
Baca Juga:
Skandal Judi Online: 4.000 Prajurit TNI Kena Sanksi, Danpuspom Beri Peringatan Keras
Pendidikan yang pernah diikuti oleh Abdul Halim Perdanakusuma, yaitu HIS di Semarang lulus tahun 1934, MULO di Surabaya lulus 1938 dan melanjutkan ke pendidikan Pamong Praja Hindia Belanda (MOSVIA) di Kota Magelang.
Menjelang akhir tahun 1939 di Eropa pecah perang dunia ke II. Pada bulan Mei 1940 Belanda diduduki Jerman, maka Pemerintah Hindia Belanda segera mengeluarkan peraturan wajib militer (Milisi) bagi rakyat Hindia Belanda termasuk di daerah jajahannya untuk menghadapi kemungkinan perang di wilayah Asia termasuk Indonesia.
Saat itu pemuda Abdul Halim Perdanakusuma yang tengah duduk ditingkat dua sekolah MOSVIA tidak luput dari kewajiban milisi tersebut.
Angkatan Laut Hindia Belanda mengirimnya untuk mengikuti pendidikan opsir (calon perwira) Torpedo di Surabaya. Selama Perang Dunia II dalam menjalankan masa penugasan sebagai militer, Halim tercatat pernah bertugas di Royal Canadian Air Force dan Royal Air Force dengan pangkat Wing Commander dan mendapat tugas di skadron tempur pesawat Lancaster dan Liberator.
Sementara itu Perang Pasifik berakhir dengan kekalahan Jepang. Tanggal 15 Oktober 1945, ketika tentara Sekutu mendarat di Tanjung Priok, Jakarta diantara sekian banyak orang berkulit putih terdapat seorang berkulit sawo matang berpakaian Angkatan Udara Inggris.
Dialah Halim Perdanakusuma. Situasi negara pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia sangat mencekam dimana Belanda dan tentara sekutu saat itu sudah menjadi musuh bagi bangsa Indonesia.
Melansir Kompas TV, keberadaan Halim Perdanakusuma di Indonesia dicurigai sebagai tentara NICA, sehingga dimasukkan dalam sel tahanan di Kediri.
Maklum pascakemerdekaan keadaan Indonesia memang gawat. Namun pemerintah Indonesia memiliki pandangan yang jauh ke depan melihat potensi yang dimiliki Halim, anak muda yang berbakat dalam dunia penerbangan.
Maka sekaligus untuk menjaga keselamatan jiwanya, melalui Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin, Halim dibebaskan dari tahanan dan kembali kepada keluarganya di kota Sumenep.
Sementara itu Komodor Udara R. Soerjadi Soerjadarma, ditetapkan KSAU pertama, bersama dengan Komodore Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof Dr Abdulrachman Saleh tengah sibuk membangun kekuatan udara.
Maka, Halim pun diajak bergabung agar turut mengabdi kepada perjuangan bangsa Indonesia.
Tanpa banyak pertimbangan Halim Perdanakusuma menerima tawaran itu. Sejak saat itu Halim memulai tugas barunya ikut serta membina serta merintis perkembangan AURI dengan pangkat Komodor Muda Udara.
Sesuai dengan keahlian dan pengalaman yang dimilikinya, Halim diserahi tugas sebagai Perwira Operasi Udara. Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi udara.
Salah satu tugasnya menembus blokade udara Belanda, mengatur siasat serangan udara atas daerah lawan, operasi penerjunan pasukan di luar Jawa dan penyelenggaraan operasi penerbangan dalam rangka pembinaan wilayah.
Serangan ketiga kota
Selain itu juga diserahi tugas sebagai instruktur navigasi di sekolah penerbangan yang didiirikan dan dipelopori oleh Agustinus Adisutjipto.
Sebagai perwira operasi, Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma mendapat perintah menyusun serangan udara balasan atas peristiwa Agressi militer I Belanda.
Pada dini hari tanggal 29 Juli 1947 atas persetujuan pimpinan AURI dilakukan serangan udara terhadap tiga kota yang dikuasai Belanda, yaitu Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.
Keberhasilan atas penyerangan ini melambungkan nama AURI, namun menimbulkan kemarahan dari pihak Belanda yang selama ini selalu memandang rendah kemampuan penerbang Indonesia.
Namun keberhasilan tersebut harus dibayar mahal dengan gugurnya tiga perintis dan pelopor AURI yaitu Komodor Muda Udara A. Adisutjipto, Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrahman Saleh, dan Juru Radio Opsir Udara Adisoemarmo Wiryokusumo dalam peristiwa ditembaknya pesawat Dakota VT-CLA yang membawa obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya di atas langit Maguwo Yogyakarta oleh dua pesawat pemburu Kitty Hawk Belanda.
Pesawat tersebut jatuh di sekitar desa Tamanan, Kecamatan Banguntapan, dekat Desa Ngoto, Bantul Yogjakarta.
Halim Perdanakusuma kemudian menggantikan posisi Adisutjipto sebagai Wakil Kepala Staf AURI. Di tengah kesibukannya dalam melaksanakan pengabdian di AURI, pada tanggal 24 Agustus 1947 Halim melaksanakan pernikahan dengan Koesdalina di Madiun.
Hanya dua bulan setelah menikah, Halim mendapat tugas membangun angkatan udara di Sumatera, dimaksudkan sebagai upaya menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera menembus blokade udara Belanda, serta persiapan sebagai basis perjuangan apabila pangkalan-pangkalan udara di Pulau Jawa dikuasai oleh Belanda.
Didampingi oleh Opsir Udara II Iswahjudi, Halim berangkat menuju Sumatera.
Dalam pembangunan AURI di Sumatera ini, Halim diangkat sebagai Komandemen tentara Sumatera. Ia bersama Iswahjudi disibukkan dengan misi mengangkut senjata dan amunisi.
Mereka berdua harus menembus blokade udara Belanda yang sangat ketat. Penerbangan dilakukan pada malam hari dengan tujuan negara tetangga untuk mengangkut persenjataan yang telah disiapkan.
Kerjasama tersebut selain membangun lapangan udara juga berhasil menghimpun dana dengan cara mengumpulkan emas dari rakyat yang digunakan untuk membeli pesawat.
Salah satu bukti hasil pengumpulan dana tersebut adalah sebuah pesawat Avro Anson denga registrasi VH-PBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.
Dalam usaha mencari bantuan ke luar negeri inilah, bersama opsir udara I Iswahjudi pergi ke Muangthai (Bangkok) pada bulan Desember 1947 menggunakan Pesawat Avro Anson RI-003 dengan penerbang Iswahyudi, dan seorang penumpang bernama Keegan berkebangsaan Australia yang telah menjual pesawat tersebut.
Selain mengantarkan Keegan pulang, misinya adalah untuk melakukan penjajakan lebih jauh tentang kemungkinan pembelian senjata dan pesawat serta melakukan inspeksi terhadap perwakilan RI dalam mengatur penukaran dan penjualan barang-barang yang berhasil dikirim dari dalam negeri dan berhasil memasukan barang-barang dari Singapur ke daerah RI menembus blokade udara Belanda.
Sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah pesawat terjebak dalam cuaca buruk di daerah Perak Malaysia, yang disertai dengan kabut tebal yang menghalangi pandangan sang pilot sehingga pesawat jatuh di pantai.
Malapetaka itu tepatnya terjadi di Labuhan Bilik Besar, antara Tanjung Hantu dan Teluk Senangin di Pantai Lumut.
Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari 2 orang warga China penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang pada sekitar pukul 16.30 pada tanggal 14 Desember 1947.
Berita jatuhnya pesawat RI-003 ini mendapat perhatian luar biasa dan disiarkan oleh surat kabar berbahasa Inggris The Times dan Malay Tribune yang terbit pada tanggal 16 Desember 1947.
Di Indonesia, peristiwa tersebut diumumkan secara resmi oleh Kasau Komodor Soerjadi Soerjadarma di Markas Besar AURI di Jalan Terban Taman No. 1 Yogyakarta.
Tokoh politik dan masyarakat Malaya, menaruh simpati atas terjadinya peristiwa naas tersebut, terutama atas perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Pemakaman dilaksanakan di Teluk Murok, yang jauhnya lebih kurang 30 km dari Lumut, lokasi kecelakaan.
Disamping itu, pihak polisi menghendaki agar ada persetujuan dari pihak RI, sehingga pemakaman baru dilaksanakan menurut tata cara agama Islam pada tanggal 19 Desember 1947.
Jenazah disemayamkan di Masjid Adki dengan diselimuti bendera merah putih. Di atas makam itu, dipancangkan nisan yang bertuliskan jenazah Komodor Muda Udara A. Halim yang gugur di Tanjung Hantu tanggal 14 Desember 1947.
Untuk menghargai jasa-jasanya, khususnya terhadap Angkatan Udara, nama Halim Perdanakusuma diabadikan mengantikan nama Pangkalan Udara Cililitan berdasarkan Surat Penetapan Kasau nomor Kep/76/48/Pen.2/KS/1952 tanggal 17 Agustus 1952.
Pimpinan TNI AU juga telah menganugerahkan kenaikan pangkat luar biasa menjadi Laksamana Muda Udara Anumerta. Kemudian pada tanggal 15 Februari 1961 pemerintah menganugerahkan tanda jasa Bintang Maha Putera Tingkat IV.
Tanggal 9 Agustus 1975, Marsda TNI Anumerta Abdul Halim Perdanakusuma dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 063/TK/1975.
Penganugerahan tersebut, bertepatan dengan peringatan hari pahlawan 10 November 1975 dan kerangka jenazah almarhum yang bersemayam di Malaysia, dipindahkan dan dimakamkan kembali dengan upacara kemiliteran di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta.
Almarhun Abdul Halim Perdanakusuma meninggalkan seorang istri bernama Koesdalinah yang pada waktu itu tengah mengandung empat bulan. Sebelum berangkat tugas, ia berpesan kepada istrinya, jika kelak anak yang lahir laki-laki agar kelak diberi nama Ian Santoso, maksudnya untuk mengenang sahabat karibnya sewaktu perang dunia II di Eropa.
Selanjutnya Ian Santoso mengikuti jejak ayahnya menjadi prajurit TNI AU sebagai penerbang pada Skadron Udara 17 di Lanud Halim Perdanakusuma.
Jabatan terakhir Marsdya TNI Purn Ian Santoso Perdanakusuma adalah sebagai Kepala Badan Intelijen Strategis (Ka BAIS) TNI. [eta]