WahanaNews.co |
Dalam pekan-pekan setelah kudeta militer 1 Februari, Andrew bergabung dengan
jutaan orang di seluruh Myanmar untuk unjuk rasa damai, menuntut kembalinya
pemerintah sipil.
Kurang dari dua bulan
kemudian, pemuda 27 tahun itu dilatih untuk membunuh tentara dengan senapan
berburu di hutan di negara bagian Kayah, di perbatasan tenggara Myanmar dengan
Thailand.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
"Sebelum kudeta, bahkan saya
tidak bisa membunuh seekor binatang pun," jelas Andrew kepada Al Jazeera, meminta nama aslinya tidak
diungkapkan demi alasan keamanan.
"Ketika saya melihat militer
membunuh warga sipil, saya merasa sangat sedih dan kacau. Saya berpikir, saya
berjuang untuk rakyat melawan diktator militer kejam," lanjutnya, dikutip dari Al Jazeera, Kamis (17/6/2021).
Andrew merupakan satu dari
sejumlah warga sipil di seluruh negeri, sebagian besar anak muda, yang angkat
senjata untuk melawan militer yang telah membunuh lebih dari 860 orang, paling
banyak saat unjuk rasa anti kudeta, menangkap lebih dari 6.000 orang, dan
menggunakan taktik penyiksaan dan penghilangan paksa sejak kudeta.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
Beberapa pejuang menjadi
anggota organisasi etnis bersenjata di perbatasan negara tersebut, di mana
etnis minoritas telah bertempur selama puluhan tahun melawan militer Myanmar
atau Tatmadaw untuk penentuan nasib
dan hak sendiri.
Yang lain, seperti Andrew,
telah bergabung dengan satu dari belasan pasukan pertahanan sipil yang
berkembang di kota-kota dan daerah sejak akhir Maret.
Sementara kelompok etnis
bersenjata selama bertahun-tahun mengembangkan sumber daya dan kapasitasnya,
pasukan pertahanan sipil kebanyakan bersenjatakan senapan berburu dan senjata
rakitan lainnya, dan banyak pejuang hanya mengikuti pelatihan selama beberapa
pekan.