Taktik Gerilya
Kelompok perlawanan di
wilayah perkotaan juga mulai tumbuh, sebagian besar karena hasil dari anak-anak
muda yang telah bersatu dalam jaringan bawah tanah setelah menghadiri kamp
pelatihan singkat dengan kelompok etnis bersenjata di hutan.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
Sekembalinya ke kota, mereka
mengadopsi taktik gerilya termasuk pemboman, pembakaran dan pembunuhan yang
ditargetkan, termasuk orang-orang yang dicurigai sebagai informan atau orang-orang
yang bersekutu dengan militer.
Majalah Frontier Myanmar melaporkan, setidaknya ada 10 sel pemberontak
perkotaan di kota-kota utama Myanmar, sementara Radio Free Asia menghitung lebih dari 300 ledakan sejak kudeta,
sebagian besar di kantor polisi dan pemerintah dan fasilitas lain yang
terhubung dengan rezim.
"(Militer) menindas kami
dengan senjata. Haruskah kami berlutut atau haruskah kami melawan balik? Jika
kami melawan dengan hanya hormat tiga jari, kami tidak akan pernah mendapatkan
apa yang kami inginkan," jelas Gue Gue (29), seorang dokter dan anggota
perlawanan bawah tanah di Yangon.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
"Kami tidak dipersenjatai
karena pilihan; ini karena kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan
dengan memintanya secara damai," imbuhnya.
Tapi, dia mengatakan, dia
terus menerus hidup dalam ketakutan karena informan.
"Kami di perkotaan harus
hidup sembunyi-sembunyi atau kami bisa dibunuh. Kami tidak bisa tidur nyenyak,"
kata Gue Gue.