Menghadapi militer dengan
persenjataan senilai USD 2 miliar dan memiliki pengalaman 70 tahun menindak
penduduk sipil, kaum revolusioner baru mengatakan kepada Al Jazeera, mereka siap menguji peluang karena mereka merasa
perlawanan bersenjata adalah satu-satunya pilihan yang tersisa untuk
menjatuhkan rezim.
"Kami telah melaksanakan
unjuk rasa di seluruh negeri dan meluncurkan gerakan pembangkangan sipil
melawan militer dengan harapan mengembalikan demokrasi sipil, tapi
metode-metode itu saja tidak ampuh," jelas Neino, mantan dosen yang sekarang
memimpin sayap politik kelompok pertahanan sipil di Negara Bagian Chin dan
wilayah tetangganya, Sagaing.
Baca Juga:
Bertahan di Rakhine, Etnis Rohingya Seolah Hidup Tanpa Harapan
"Kami telah melakukan segala
yang kami bisa, dan mengangkat senjata adalah satu-satunya cara yang tersisa
untuk memenangkan ini," lanjut perempuan ini.
Salai Vakok (23) juga berada
di Chin, mulai mengumpulkan senapan berburu di daerah asalnya di Mindat, sesaat
setelah militer mulai menembaki para pengunjuk rasa pada pertengahan Februari
lalu.
"Kami biasa berharap orang
dari luar negara kami akan berjuang untuk kami, tapi itu tidak pernah terjadi,"
ujar mantan pekerja pengembangan komunitas ini.
Baca Juga:
Aung San Suu Kyi Divonis 6 Tahun Penjara
"Saya tidak pernah berpikir
dalam hidup saya akan memegang senjata, tapi dengan cepat saya berubah pikiran
setelah mengetahui pembunuhan orang tanpa senjata, warga sipil tidak berdosa di
seluruh negeri dan khususnya di kawasan dataran rendah. Saya tidak bisa terus
diam. Untuk membalas pahlawan yang gugur dan menunjukkan solidaritas, saya
memutuskan angkat senjata," tandasnya.
Tatmadaw
merespons perlawanan sipil bersenjata ini dengan serangan udara dan darat dan
dengan menghalangi akses bantuan, makanan, dan pasokan bahan kebutuhan untuk
warga sipil di wilayah etnis.
Hampir 230.000 orang
melarikan diri dari rumahnya sejak kudeta, banyak bersembunyi di hutan.