Pos tugas Sim ini dikenal sebagai “sarang” COAM (Corps Opsir Aliran Muda); markas kelompok intelektual tentara di Yogya. Sim menjadi satu-satunya perwira TNI yang terlibat perundingan dengan Belanda sejak 1946 hingga tentara kolonial angkat kaki dari Indonesia pada akhir 1949.
Simatupang memulai karier militernya dengan gemilang. Masalahnya, Sim kurang begitu akur dengan Presiden Sukarno. Bermula dari keputusan Sukarno untuk tetap bertahan di Yogya ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948.
Baca Juga:
Letjen TB Simatupang dan DR Liberty Manik, Diantara 10 Putra Terbaik Sidikalang Dairi
Padahal, sebelumnya Sukarno selalu mengatakan akan ikut gerilya bersama rakyat dan TNI. Untuk itu, Sim telah menyiapkan satu batalyon Corps Polisi Militer (CPM) yang siap mengawal Sukarno dalam gerilya. Namun yang terjadi, Sukarno memilih ditangkap Belanda untuk meningkatkan bobot diplomasi sedangkan tentara bergerilya di hutan-hutan.
Sim adalah orang yang menyarankan Presiden Sukarno agar tidak perlu mengenakan seragam militer. Menurut Sim, sebagai orang sipil Sukarno dapat memberikan teladan dengan mengenakan pakaian sipil pada upacara-upacara militer.
Dengan demikian jelas bahwa Sukarno memperoleh penghormatan tertinggi bukan karena uniformnya melainkan karena dia adalah Presiden Negara. Dengan kata lain, tanpa menyerupai militer, Presiden RI punya wewenang penuh atas TNI. Sebaliknya, dengan berpakain militer Sukarno seperti mengurangi kekuasaannya.
Baca Juga:
Jejak Langkah TB Simatupang dan Riwayat Setelan Celana Abu-abu
Namun sepertinya anjuran Sim bagai angin lalu saja bagi Si Bung Besar. Dalam berbagai hajatan negara, Sukarno selalu tampil begitu percaya diri dengan seragam militer lengkap dengan tongkat komandonya.
Perseteruan Sim dengan Sukarno semakin terbuka karena keduanya tidak sejalan dalam visi membangun angkatan perang. Pada Juli 1952, Sukarno memberikan dukungannya kepada Kolonel Bambang Supeno untuk menggantikan Nasution dari kedudukan Kepala Staf Angkatan Darat. Mufakat itu terjadi tanpa sepengetahuan Simatupang selaku KSAP.
Dalam suatu pertemuan dengan Sukarno, Sim menggebrak pintu di depan Sukarno lantaran kecewa atas sikapnya yang ikut campur urusan internal TNI. Hal ini tentu saja bikin Sukarno marah dan terhina. Dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, tidak sekalipun Sukarno menyebut nama Simatupang.