Konflik dalam tubuh TNI kemudian berujung pada Peristiwa 17 Oktober 1952. Buntutnya, Simatupang dicopot dari kedudukan KSAP. Sim dibiarkan bekerja tanpa jabatan dan hanya berkedudukan sebagai penasihat Menteri Pertahanan hingga dipensiunkan secara dini tahun 1959.
Semua itu menimbulkan kepedihan di hati Simatupang. Kiranya rasa pahit itu diungkapkan Sim ketika putra sulungnya lahir, ia namai dalam bahasa Batak: Marsinta Hatigoran. Artinya, bercita-cita keadilan.
Baca Juga:
Letjen TB Simatupang dan DR Liberty Manik, Diantara 10 Putra Terbaik Sidikalang Dairi
“Nama itu mengungkapkan perasaan saya pada waktu itu, bahwa saya diperlakukan tidak adil. Terbukti bahwa diperlukan 7 tahun diantara 1952—1959 untuk mengeluarkan saya dari dinas tentara,” kata Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos.
Di antara rekan sejawatnya, Sim dikenang dengan cara yang berbeda. Jika Nasution kelak dikenal sebagai jenderal besar; konseptor perang gerilya dan dwifungsi ABRI.
Sementara Alex Kawilarang menjadi pencetus pasukan elite TNI (Kopassus). Simatupang berkhidmat di jalan agama. Dalam keyakinanya, Sim percaya panggilan pelayanannya dalam gereja dapat menjadi jalan berkontribusi bagi masyarakat.
Baca Juga:
Jejak Langkah TB Simatupang dan Riwayat Setelan Celana Abu-abu
Selepas pensiun dari dinas tentara, Sim mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan gereja. Adalah Profesor Sutan Gunung Mulia, seorang teolog pendiri Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang mengajak Sim bergabung dalam DGI. Sejak itu Sim menemukan dunia baru.
Dia berkhotbah dan menjadi penulis beberapa buku teologi. Sim juga aktif menulis dalam tajuk rencana harian Kristen Sinar Harapan yang kemudian berganti menjadi Suara Pembaruan.
Sampai akhir hayatnya, Sim tercatat memimpin beberapa lembaga Kristen, diantaranya Persekutuan Gereja Indonesia, Dewan Gereja-Gereja Asia, Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan Universitas Kristen Indonesia.