WahanaNews.co | Asdianti, pembeli tanah di Pulau
Lantigiang, Kecamatan Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi
Selatan (Sulsel), masuk dalam daftar pencarian orang.
Dia
telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus jual-beli Pulau Lantigiang.
Baca Juga:
Jengkel Tidak Terima Diputusin, Polisi Pukuli Pacar di Sulsel
Selain
Asdianti, polisi juga menetapkan keponakan pemilik tanah di Pulau Lantigiang,
Kasman, dan mantan Kades Jinato 2015, Abdullah,
sebagai tersangka kasus tersebut.
Namun, Kasman
tidak ditahan dan hanya wajib lapor Senin dan Kamis, karena dalam kondisi sakit.
Sementara
berkas Abdullah masih dalam proses.
Baca Juga:
Remaja di Gowa Diduga Dianiaya Anggota Polda Sulsel hingga Babak Belur
Asdianti
sendiri tercatat sudah dua kali mangkir dari pemeriksaan polisi.
Berada di Dubai, Tak Terlibat Pemalsuan Akta
Kepada wartawan,
Asdianti bercerita jika saat panggilan surat pertama dari polisi, ia sedang
berada di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA).
Sedangkan
saat panggilan surat kedua, ia tak bisa pulang karena positif Covid-19.
Ia pun
masih belum bisa memastikan kepulangannya ke Tanah Air.
"Waktu
surat panggilan pertama saya sudah sampaikan ke pihak ke polisi saya berada di
Dubai. Kalau panggilan kedua saya tidak bisa pulang karena positif
Covid-19," kata Asdianti kepada wartawan, Jumat (30/4/2021).
"Saya
belum bisa jawab karena kasus Covid-19 masih tinggi," lanjut perempuan
yang menjabat sebagai Direktur PT Selayar Mandiri Utama.
Selain
itu, ia juga membantah terlibat pemalsuan surat kepemilikan tanah
Pulau Lantigian, dan mengaku tak pernah bertemu dengan tersangka
Abdullah.
"Bertemu
dengan Mantan Kades Jinato Abdullah pun saya tidak pernah, dan surat
kepemilikan yang dibuat oleh Abdullah saya tidak tahu karena sudah
ditandatangani," ungkapnya.
Ia juga
membantah telah terlibat dalam pemalsuan akta otentik kepemilikan lahan di
Pulau Lantigiang bersama Kasman.
"Apakah
surat kepemilikan masuk akta otentik? Dalam UUD akta otentik menurut Pasal 1868
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) merupakan akta yang (dibuat) dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan
pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, tempat di mana akta atau
perjanjian dibuat," jelasnya.
Ia
kemudian menjelaskan contoh dari akta otentik adalah akta notaris, vonis, surat
berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran,
kematian, dan sebagainya.
Sedangkan
akta di bawah tangan adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, dan surat
perjanjian jual beli.
"Jadi
yang dituduhkan kepada saya itu sama sekali tidak benar," tegasnya.
Ia
mengatakan, ada oknum tertentu yang ingin membatalkan proyek yang akan
ia garap di kampung halamannya.
"Saya
yakin ada oknum-oknum tertentu yang ingin membatalkan proyek saya di kampung
sendiri, padahal Indonesia ada 17.000 pulau yang bisa dikembangkan, dan bisa
dimanfaatkan," ujarnya.
Polisi: Tersangka Lakukan Persengkongkolan
Sementara
itu, Paur Humas Polres Selayar, Ipda Hasan, mengatakan, Abdullah dan Asdianti jadi
tersangka setelah Satreskrim Polres Selayar melakukan gelar perkara.
"Sebelumnya
mereka diperiksa sebagai saksi, setelah dilakukan gelar perkara maka dinaikkan
ke tingkat penyidikan dan dipanggil diperiksa sebagai tersangka," kata
Hasan, saat dikonfirmasi wartawan, Jumat (12/3/2021).
Namun,
hanya Abdullah yang memenuhi panggilan.
Sementara
Asdianti tidak bisa dihubungi penyidik karena nomor telepon genggamnya tidak
lagi aktif.
"Abdullah
sudah memenuhi panggilan dan tidak dilakukan penahanan tetapi menjalani wajib
lapor Senin dan Kamis. Sedangkan Asdianti belum dilakukan pemeriksaan karena
tidak jelas keberadaannya dan nomornya tidak aktif," jelasnya.
Hasan
mengungkapkan peran kedua tersangka melakukan persekongkolan sehingga terjadi
transaksi jual beli tanah di Lantigiang.
"Yang
banyak berperan Asdianti, dan Kasman. Sementara Abdullah turut mengetahui dan
menandatangani dan lahirlah surat keterangan jual beli tanah," bebernya.
Sedangkan
pemilik tanah, Syamsul Alam, saat ini masih jadi saksi.
"Jadi
beliau tidak tahu perannya hanya ditunjuk seolah-olah dia yang punya
tanah," jelasnya.
Atas
perbuatannya, kedua tersangka dikenakan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan
dokumen dengan ancaman hukuman paling lama enam tahun penjara. [dhn]