WahanaNews.co | Bupati Kepulauan
Selayar, Sulawesi Selatan, Muh Basli Ali, mengumpulkan semua Kepala Desa setelah hebohnya penjualan Pulau Lantigiang.
Menurut
dia, warga tidak berhak memperjualbelikan pulau kosong itu, karena
kawasan tersebut masuk wilayah konservasi.
Baca Juga:
Peningkatan Penjualan Parsel Kota Palangka Raya Jelang Idul Fitri 1445 H
Terlebih
lagi, bukti dari kepemilikan pulau tersebut dinilai tidak kuat.
Atas
kejadian tersebut, Basli mengumpulkan semua Kepala Desa di wilayahnya. Sebab, dalam
kasus tersebut, diketahui bahwa surat keterangan kepemilikan pulau
ditandatangani Kepala Dusun dan Kepala Desa yang lama.
Basli
menegaskan, seharusnya Kepala Desa berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah jika menemukan kasus seperti
itu.
Baca Juga:
Pengembalian Barang dalam Bisnis: Alasan dan Dampaknya pada Perusahaan Penjualan Produk
"Saya
sudah kumpulkan semua kepala dusun dan kepala desa dan telah me-warning-nya.
Jadi, tidak boleh lagi ada kejadian seperti ini penjualan pulau di Kabupaten
Kepulauan Selayar," jelas dia.
Para Kepala Desa dan
Kepala Dusun di Kepulauan Selayar diminta tak asal menandatangani
penjualan lahan.
"Jadi
kita sudah imbau kepala desa jangan tanda tangan kalau ada investor yang masuk
dan segera hubungi pemerintah daerah, karena ini berbahaya," ujar Basli.
Ia
menegaskan, dari 132 pulau di Kabupaten Selayar, tak ada satu pun yang
disewakan.
Cari Eks Kades
Penandatangan
Tak
hanya mewanti-wanti semua Kepala Desa di wilayahnya, Bupati juga mencari mantan Kepala Desa dan
Dusun yang menandatangani surat penjualan Pulau Lantigian.
Pencarian
juga melibatkan pihak kepolisian.
"Saya
sudah suruh cari orangnya, tapi belum ditemukan di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Informasi terakhir yang saya terima, keduanya ada di Kota Makassar," ujar
Basli.
Basli
juga mengetahui bahwa bukti kepemilikan Pulau Lantigiang itu hanya berbentuk
kertas bermeterai.
Surat
keterangan itu ditandatangani Syamsul Alam sebagai orang yang mengaku pemilik, Kepala Dusun
Arsyad, dan Kepala Desa Abdullah.
Bukti
surat itu ditandatangani pada 12 Januari 2015.
"Jadi
surat keterangan kepemilikan tanah itu di lembaran kertas biasa bermeterai
6.000 dengan ditandatangani oleh Syamsul Alam selaku pemilik, Kepala Dusun
yang lama dan Kepala Desa yang lama, dan ditandatangani dua orang saksi," kata dia.
Pernah Urus
ke BPN
Syamsul
ternyata juga pernah mengurus kepemilikan tanah itu ke Badan Pertanahan
Nasional (BPN).
Namun,
pengurusan sertifikat tanah seluas 7,3 hektar di Pulau Lantigiang itu ditolak.
Sebab, BPN menilai tanah tersebut adalah tanah negara.
"Jadi
itu pulau itu berada di kawasan konservasi di Balai Taman Nasional Taka
Bonerate. Jadi seharusnya di sana itu, Pemerintah Desa Jinato ini tidak bisa
ikut memperjualbelikan pulau. Itu kan
pengelolaan ada di kementerian, jadi tidak bisa diperjualbelikan," jelas Basli.
Syamsul
sendiri bersikeras mengaku mempunyai lahan Pulau Lantigiang. Dia mengatakan,
orangtuanya sudah tinggal pulau itu sejak puluhan tahun yang lalu.
"Jadi
ini seakan-akan menganggap punya orangtua yang pernah melakukan aktivitas di
pulau kosong itu. Sehingga, pada tahun 2015, Syamsul Alam merasa sebagai ahli waris
membuatkan surat keterangan kepemilikan yang disetujui dan disaksikan Kepala Dusun
dan Kepala Desa sebelumnya yang kini tidak menjabat lagi," jelas Basli.
Kini,
Polres Selayar masih mendalami kasus tersebut dengan memeriksa sejumlah saksi. [qnt]