WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ratusan warga Surabaya turun ke jalan mengawal kasus dugaan pengusiran paksa terhadap Nenek Elina Widjajanti (80), seorang lansia yang diduga diseret keluar dari rumahnya hingga kehilangan tempat tinggal tanpa melalui proses hukum, sebuah peristiwa yang memantik kemarahan publik karena dinilai melampaui batas kemanusiaan.
Aksi penyampaian aspirasi itu dipusatkan di kawasan Taman Apsari pada Jumat (26/12/2025), dengan massa dari berbagai elemen masyarakat mendesak aparat penegak hukum agar segera bertindak tegas dan tidak ragu menetapkan tersangka terhadap pihak-pihak yang terlibat.
Baca Juga:
Pengusiran Brutal Nenek Lansia di Surabaya Berujung Laporan ke Polda Jatim
Kepala Bagian Analisis Kajian Strategis Gerakan For Justice, Brian, menyatakan bahwa aksi tersebut merupakan pernyataan sikap warga Surabaya yang menolak segala bentuk kekerasan dan praktik main hakim sendiri.
“Ini bukan sekadar aksi solidaritas, tapi tuntutan keadilan,” tegas Brian.
Ia menambahkan bahwa perlakuan tidak manusiawi terhadap seorang nenek berusia 80 tahun tidak boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa respons negara.
Baca Juga:
Rampas Sertifikat dan Motor, Ormas di Surabaya Usir Paksa Nenek Elina dari Rumahnya
“Seorang nenek berusia 80 tahun diperlakukan secara tidak manusiawi, negara tidak boleh diam,” ujarnya.
Dalam aksinya, massa secara terbuka mendesak kepolisian agar segera menaikkan status hukum para pelaku yang terekam dalam video viral yang beredar luas di masyarakat.
Menurut Brian, bukti visual yang telah menyebar tersebut seharusnya cukup kuat untuk menjadi dasar penindakan hukum tanpa penundaan.
“Wajah pelaku jelas, aksinya terekam, dan videonya tersebar luas,” katanya.
Ia menilai tidak ada alasan hukum yang dapat membenarkan lambannya proses penegakan hukum dalam perkara ini.
“Tidak ada alasan untuk menunda,” ujarnya lagi.
Usai menyampaikan aspirasi di Taman Apsari, gelombang kemarahan warga Surabaya berlanjut dengan pergerakan ratusan Arek Suroboyo menuju kantor DPC ormas Madas di Jalan Marmoyo sebagai bentuk penolakan terhadap dugaan praktik premanisme.
Massa bergerak menggunakan konvoi sepeda motor sambil menegaskan bahwa Surabaya bukan ruang bebas bagi intimidasi, kekerasan, maupun tindakan sewenang-wenang atas nama organisasi apa pun.
Perwakilan massa, Purnama, menyampaikan tuntutan agar ormas yang dinilai berulang kali meresahkan masyarakat dapat dibubarkan secara tegas oleh negara.
“Surabaya bukan kota preman,” ujar Purnama.
Ia menegaskan bahwa setiap organisasi yang bertindak layaknya preman tidak memiliki tempat di Kota Pahlawan.
“Kalau ada ormas yang bertindak seperti preman, harus dibubarkan,” katanya.
Aksi kemudian berlanjut ke kantor PAC Madas sebagai lanjutan protes, menyusul penilaian massa bahwa sejumlah pernyataan dan tindakan ormas tersebut bersifat provokatif dan berpotensi mengganggu ketertiban warga.
Meski berlangsung dalam tensi tinggi, koordinator aksi memastikan bahwa massa telah diimbau untuk tidak melakukan kekerasan maupun tindakan main hakim sendiri.
Penanganan hukum sepenuhnya diserahkan kepada aparat kepolisian sebagai pihak yang memiliki kewenangan.
Sebelumnya, kuasa hukum Elina Widjajanti, Wellem Mintaraja, telah melaporkan perkara ini ke Polda Jawa Timur.
Para terduga pelaku dilaporkan dengan sangkaan Pasal 170 KUHP terkait pengeroyokan dan perusakan secara bersama-sama, serta dugaan eksekusi tanpa putusan pengadilan.
Kasus ini terus menjadi sorotan publik dan dipandang sebagai ujian serius bagi penegakan hukum sekaligus cermin keberpihakan negara terhadap warga rentan.
Elina Widjajanti juga mengaku kehilangan seluruh barang miliknya setelah rumah tersebut dibongkar secara paksa, termasuk sejumlah sertifikat penting.
“Barang saya hilang semua, ada beberapa sertifikat juga,” ucap Elina.
Ia berharap negara dapat memfasilitasi ganti rugi atas rumah yang telah dibongkar tanpa proses hukum tersebut.
“Rumah dibongkar, ya minta ganti rugi,” ujar lansia berusia 80 tahun itu.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]