Putri HA memberikan penjelasannya kepada sekolah, termasuk wali kelas dan guru Bimbingan Penyuluhan (BP) bahwa dia tidak bersedia mengenakan jilbab. Namun, anaknya itu terus menerus dipertanyakan alasan mengapa tak mau berhijab.
"Dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anak saya. Ini bukan "tutorial jilbab" karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan," tegasnya.
Baca Juga:
Arya Wedakarna Dipecat dari DPD RI Buntut Lecehkan Jilbab
HA sendiri mengaku dirinya juga berjilbab. Namun, ia mengklaim bisa menghargai keputusan dan prinsip putrinya. Dia berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.
"Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri," ucapnya.
HA kini mendesak SMAN 1 Banguntapan, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bertanggungjawab atas kondisi putrinya yang sekarang mengalami trauma hingga membutuhkan bantuan psikolog.
Baca Juga:
RUU Iran, Perempuan Tidak Berjilbab Dipenjara 10 Tahun
"Kembalikan anak saya seperti sediakala," tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan Yogyakarta (AMPPY) melaporkan salah seorang siswi kelas X SMAN 1 Banguntapan Bantul, DIY yang mengalami depresi berat karena dipaksa mengenakan hijab ketika Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pertengahan Juli 2022 lalu.
Siswi berusia 16 tahun itu disebut mengalami trauma usai salah seorang guru BK memakaikan jilbab kepadanya secara paksa. Dia disebut sampai menangis di toilet satu jam lamanya setelah kejadian itu.