Apalagi, sebagian besar masyarakat tak punya kemampuan atau akses untuk menguji kebenaran informasi dalam label kemasan.
Dalam hal ini, negara harus hadir lebih tegas. Sudah terlalu lama pelaku curang di sektor pangan berlindung di balik celah regulasi dan lemahnya penegakan hukum.
Baca Juga:
Punya Rasio Pelanggan 98,45 Persen, ALPERKLINAS Apresiasi PLN yang Survive Penuhi Kebutuhan Listrik Indonesia dengan Pendapatan Maksimal
Oleh karena itu, langkah Kementan melaporkan temuan ini kepada Kapolri dan Jaksa Agung patut diapresiasi. Namun, laporan saja tidak cukup. Harus ada proses hukum yang cepat, transparan, dan menghasilkan efek jera nyata.
Perlu ditegaskan, praktik mengoplos dan memalsukan label mutu atau berat beras merupakan pelanggaran terhadap Pasal 62 Jo Pasal 8 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta Pasal 143 Jo Pasal 99 dan Pasal 144 Jo Pasal 100 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
Ancaman hukumannya tidak main-main: pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal Rp2 miliar. Bukan hanya pelanggaran etika bisnis, ini merupakan tindak pidana yang menyangkut hak dasar konsumen dan keadilan ekonomi.
Baca Juga:
Amran Sulaiman: Kecurangan Beras Sama Seperti Menjual Emas Palsu ke Rakyat
Masalah ini juga memperlihatkan betapa pentingnya transparansi informasi di sektor pangan, termasuk pelabelan yang jujur dan sertifikasi mutu yang bisa dilacak. Sebab di balik label indah dan kemasan modern, bisa tersembunyi praktik manipulatif yang hanya menguntungkan segelintir orang di balik rantai distribusi.
Konsumen Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi korban. Pemerintah perlu memperkuat sistem perlindungan konsumen dengan menggabungkan tiga hal: penegakan hukum yang kuat, pengawasan distribusi yang konsisten, dan edukasi publik yang merata.
Jika sistem ini berjalan, praktik-praktik kecurangan tidak akan semudah itu lolos dari pantauan.