Kedua, Edukasi Multilateral tentang Prinsip Disiplin Positif. Perubahan budaya tidak dapat terjadi hanya di satu pihak. Diperlukan program pelatihan masif yang menyasar guru, orang tua, dan bahkan murid secara simultan mengenai prinsip-prinsip Disiplin Positif.
Ini adalah upaya kolektif untuk menggantikan budaya kekuasaan yang didasarkan pada rasa takut dan hukuman, dengan budaya dialogis yang berakar pada empati, pemecahan masalah bersama, dan rasa hormat timbal balik. Ketika semua pihak memahami bahwa disiplin adalah alat untuk mengajar, bukan menghukum, fondasi kepercayaan akan pulih.
Baca Juga:
Pemprov Jabar Keluarkan Edaran agar Guru Tak Terapkan Hukuman Fisik Kepada Siswa
Ketiga, Pengurangan Beban Administrasi untuk Memulihkan Fokus Utama Guru. Waktu adalah aset paling berharga seorang guru. Saat ini, energi dan fokus guru terserap oleh tumpukan dokumen, laporan birokratis, dan tuntutan administratif yang tidak relevan dengan esensi pendidikan. Pemerintah harus melakukan perampingan birokrasi dan digitalisasi sistem secara drastis.
Tujuannya jelas: mengembalikan waktu dan fokus guru ke kelas, di mana dialog otentik, relasi dialogis, dan pembentukan karakter melalui interaksi langsung benar-benar terjadi. Tanpa pembebasan dari belenggu administrasi, energi guru untuk menerapkan Disiplin Positif akan terus terkuras.
Hari Guru Nasional harus menjadi momentum untuk resolusi kolektif: pengakuan bahwa kita belum bisa menyediakan ruang aman bagi guru.
Baca Juga:
Soal Guru Madrasah Aksi Nasional 30 Oktober, Ini Respons Kemenag
Dengan berinvestasi pada Disiplin Positif, kita tidak hanya melindungi guru dari kriminalisasi, tetapi juga mengembalikan martabat pendidikan itu sendiri, memastikan masa depan bangsa berdiri di atas fondasi yang kuat dan berintegritas.
Penulis, Wakil Pemimpin Redaksi WahanaNews.co