WAHANANEWS.CO, Jakarta - Jakarta kembali dikejutkan dengan perkembangan sidang salah satu tokoh besar partai politik.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto, resmi dituntut 7 tahun penjara dalam kasus suap dan perintangan penyidikan terkait buronnya Harun Masiku.
Baca Juga:
Bongkar Jejak Digital, Jaksa Ungkap Tiga Jurus Hasto Halangi Penyidikan KPK
Tuntutan ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025).
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan," kata jaksa KPK, Wawan Yunarwanto.
Jaksa menyatakan bahwa Hasto terbukti menghalangi penyidik dalam memburu Harun Masiku, eks caleg PDIP yang buron sejak 2020.
Baca Juga:
Soal Bukti Elektronik CDR Tak Lewat Proses Forensik, Hasto Minta Hakim Catat
Selain itu, ia juga dinyatakan ikut terlibat menyuap eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, sebesar 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta, demi memuluskan pergantian antarwaktu (PAW) Harun ke DPR periode 2019–2024.
Dalam pertimbangannya, jaksa menyebut Hasto tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi dan tidak mengakui perbuatannya, yang menjadi hal yang memberatkan.
Meski begitu, ia bersikap sopan selama persidangan dan belum pernah dihukum sebelumnya.
Suap itu dilakukan bersama orang kepercayaan Hasto, Donny Tri Istiqomah dan Saeful Bahri.
Donny hingga kini telah ditetapkan sebagai tersangka namun belum diproses, sementara Saeful sudah divonis. Harun Masiku sendiri masih buron hingga saat ini.
Nama lain yang ikut terseret dalam kasus ini adalah Agustiani Tio Fridelina, mantan kader PDIP sekaligus eks anggota Bawaslu. Ia sudah lebih dulu menjalani hukuman.
Kasus ini menjadi catatan hitam tersendiri bagi PDIP yang hingga kini terus diterpa isu soal keberadaan Harun Masiku yang misterius.
Tuntutan kepada Hasto menjadi momen penting yang bisa membuka tabir peran siapa saja dalam kasus yang sempat menghebohkan publik ini.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]