Tidak hanya mahasiswa, sambungnya, ada juga relawan nonmahasiswa yang tergabung dalam tim pengajar. Mereka turut berkegiatan di ranah nonakademik. Terkadang, tim pengajar juga mengunjungi orang tua siswa untuk minta doa restu agar cita-cita para anak-anak tercapai.
"Kami memposisikan diri sebagai fasilitator atau kakaknya. Kami bukan guru, tetapi kakak yang hadir untuk menemani mereka karena itu yang dibutuhkan. Untuk urusan belajar, itu kuncinya ada di mereka," jelas Rommi.
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Kampanye Akbar di Labura: Fokus pada Pendidikan, Kesehatan, dan Infrastruktur
Kritik pada Pemerintah
Rommi menuturkan, ia dan tim Sakola Kembara bersyukur atas dukungan materil dan moril dari semua pihak sehingga layanan pendidikan ini bisa terus berkembang.
Di sisi lain, ia menekankan bahwa Sakola Kembara adalah bentuk kritik ke pemerintah sebagai tanda adanya ketimpangan pendidikan di Indonesia.
"Selama Sakola Kembara masih ada berarti kualitas pendidikan masih belum baik," tegas Rommi.
Baca Juga:
Pj Wali Kota Madiun Resmikan Sekolah Terintegrasi untuk Peningkatan Kualitas Pendidikan
Rommi ingin Sakola Kembara bisa mendorong pihak lain yang juga ingin memperbaiki kualitas pendidikan di pedesaan.
Harapannya, masyarakat lain turut bersemangat membangun negara. Sebab menurutnya, kesempatan diri bukan hadiah cuma-cuma dari Tuhan, tetapi merupakan alat untuk menyelesaikan tugas bagi negeri.
Ia menuturkan, dirinya sendiri punya cita-cita besar untuk mendirikan sekolah dengan kurikulum internasional bagi anak-anak di desa secara gratis.