Dedi juga mengkritisi kegiatan yang diklaim sebagai study tour namun tidak lebih dari sekadar perjalanan rekreasi, bukan aktivitas pendidikan berbasis studi.
Ia menegaskan bahwa jika tujuan pendidikan benar-benar dipegang, maka kegiatan belajar bisa dilakukan di lingkungan sekitar tanpa perlu pergi jauh.
Baca Juga:
Bukan ke Candi Tapi ke Paris, Wisata Edukatif Ala Sekolah Elit di Karanganyar Disorot Warganet
“Kan sebenarnya, kalau benar melakukan studi itu bisa di dalam kota. Ada lab di puskesmas, di rumah anak-anak biologi bisa menggunakan lab untuk menganalisis mikroorganisme, mikroba virus itu bisa di lab,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa masing-masing daerah sudah memiliki sarana dan fasilitas memadai yang bisa dimanfaatkan untuk pembelajaran lapangan.
“Cukup di daerahnya masing-masing. Karena di setiap kabupaten, lab sudah ada, sudah lengkap, tiap kabupaten sudah ada sawah, setiap kota juga ada area-area yang menjadi basic penelitian. Jadi kalau ada yang tetap melakukan, sanksi kepala sekolahnya saya copot,” ujarnya lagi.
Baca Juga:
Dampak Larangan Study Tour: Pelaku Wisata Cirebon Terpukul, Disbudpar Ajak Berbenah
Lebih lanjut, Dedi mengomentari kebijakan sejumlah kepala daerah lain yang tampak bertolak belakang dengan keputusannya, termasuk Wali Kota Bandung dan Bupati Bandung.
“Itu gini, wali kota Bandung itu konteksnya piknik. Kalau piknik sok boleh. Bukan kalimat pencopotan larangan study tour, jadi kalau piknik jangan dikaitkan dengan pelajaran. Ya piknik aja terbuka. Nah, kalau piknik tidak usah sekolah yang menyelenggarakan,” katanya menjelaskan.
Dengan pernyataan tegas ini, Dedi Mulyadi berharap agar seluruh kepala daerah serta institusi pendidikan memahami betul makna study tour agar kegiatan pendidikan di Jawa Barat tidak melenceng dari tujuannya dan tidak menjadi beban bagi orang tua maupun siswa.