Dari refleksi yang muncul dari antara dosen adalah eksistensi atau keberadaan kita. Meski kecil tetapi komunitas kita diakui.
“Cocok dengan UGM sebagai universitas Pancasila,” kata Mgr Robertus.
Baca Juga:
Pemkab Sleman Perbaiki 13 Jembatan untuk Keamanan dan Kenyamanan Masyarakat
Dikatakan, keberadaan tempat ibadah menempatkan pengakuan terhadap komunitas kita. Kita ada maka kita berbuat sesutu. Merasakan eksistensi di tempat ini. Kita bergerak bersama komunitas lain.
Kita memiliki tempat untuk bertemu. Bertemu dengan Tuhan yang kita puji dan pertemuan di antara kita sendiri.
“Memang kita bisa bertemu dengan Tuhan dimana saja. Berdoa tanpa terikat tempat dan waktu. Kita bisa bertemu saat belajar.Tetapi tempat memiliki kepastian. Di tempat inj saya bisa bertemu dengan Tuhan. Keberadaan tabernakel pertanda Tuhan hadir bersama kita. Kita punya tempat bertemu tanpa membedakan bisa dosen, karyawan maupun mahasiswa,” kata Uskup Agung Semarang.
Baca Juga:
Danrem 042/Gapu- Peletakan Batu Pertama Pembangunan Musholla Ar-Rachmad di Koramil 420-09/Bangko
Menurut Uskup, gereja tempat pertemuan yang sangat pasti. Cocok dengan bacaan Injil. Simon di batu karang ini aku akan mendirikan jemaatku. Jemaat itu siapa? Semua yang menggunakan tempat ini untuk berdoa, berkumpulatau berkegiatan atas nama Dia.
Di tempat ini diharapakan terwukud, terbentuk komunitas umat beriman sebagai jemaat dari waktu ke waktu.
Gereja diberi sarana, kemungkinan dan kewenangan untuk melayani umat. Akan dirayakan berbagai kegiatan liturgi, ibadat untuk merayakan keselamatan bagi kita. Jadi kalau ditanya apa urgensi gereja ini? Kita bisa bertemu dengan Tuhan setiap waktu, setiap saat khususnya melalui sakramen, ibadat.