WahanaNews.co | Pembangunan energi baru terbarukan (EBT) dinilai lamban lantaran adanya tarik-menarik antara kepentingan jangka pendek dan menengah dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.
Karenanya, pemerintah harus mengubah sejumlah kebijakan dalam industri kelistrikan agar target pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) bisa dicapai.
Baca Juga:
Perusahaan Tambak Udang di Maluku Berhasil Efisiensi Rp123 Juta Lebih per Hari Berkat Listrik PLN
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute mengatakan, hal itu penting dilakukan agar kepentingan jangka pendek dan menengah untuk memenuhi kebutuhan listrik saat ini dengan harga terjangkau dan tidak membebani Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (APBN) segingga selaras dengan visi jangka panjang pengembangan energi bersih.
“Hal ini tentang tarik-menarik antara soal penyediaan listrik yang harganya terjangkau oleh masyarakat dan besaran subsidi dalam APBN dengan visi negara untuk menyediakan energi bersih berbasis EBT dan sekaligus mengurangi sebanyak-sebanyaknya pembangkit listrik berbasis fosil,” kata Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute kepada pers, Minggu (22/5/2022).
Seperti diketahui, sesuai Kesepakatan Paris, Indonesia sudah mencanangkan Karbon Netral (Net Zero Emission) pada 2060 atau lebih cepat.
Baca Juga:
PLN Indonesia Power dan China Energy Sepakat Kaji Pengembangan Energi Hijau Skala Besar di Sulawesi
Sebagai target antara, Indonesia akan mengejar bauran energi (energy mixed) di sektor kelistrikan sebesar 23 persen pada 2025, dan mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri atau 41 persen jika ada bantuan internasional.
Pada 2021, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tingkat bauran energi masih 13,5%. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2021-2030 disebutkan bahwa untuk mencapai bauran energi 23% pada 2025, akan ada tambahan pembangkit berbasis energi baru terbarukan sebesar 10,64 GW. Sementara itu, tambahan pembangkit berbasis EBT sampai 2030 sebesar 20,92 GW.
Sampai saat ini, Indonesia masih bertumpu pada pembangkit berbasis fosil, terutama PLTU yang berbahan bakar batu bara, untuk menjadi pembangkit beban puncak (base-load).