WAHANANEWS.CO, Jakarta - Ketegangan geopolitik global kembali memuncak setelah Amerika Serikat meluncurkan serangan udara ke fasilitas nuklir Iran pada Sabtu (21/6/2025) waktu setempat.
Tindakan agresif ini tidak hanya mengguncang kawasan Timur Tengah, tetapi juga menciptakan gelombang tekanan ekonomi yang dirasakan hingga negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Baca Juga:
Heboh Kabar Rusia Bangun Pangkalan di Papua, Ini Fakta Mengejutkan di Baliknya
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menegaskan bahwa dampak konflik ini jauh melampaui batas teritorial Iran dan Israel.
“Dampaknya tak hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menggoyang fondasi ekonomi dan geopolitik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia,” ujar Syafruddin, Minggu (22/6/2025).
Kondisi geopolitik yang semakin tak menentu turut memperkeruh sentimen investor global.
Baca Juga:
Jokowi: Komunikasi Intensif Pemerintah terkait Geopolitik di Timur Tengah
Permintaan terhadap aset safe haven seperti emas dan dollar AS melonjak tajam, mendorong penguatan mata uang Amerika dalam jangka pendek.
Sebaliknya, pasar saham global dibayangi tekanan jual yang masif.
“Dampaknya, arus modal keluar dari pasar negara berkembang termasuk Indonesia dapat terjadi, memperlemah rupiah dan memukul daya beli masyarakat,” tambahnya.
Efek yang paling nyata diprediksi akan terasa pada lonjakan harga minyak mentah dunia. Dalam skenario moderat, harga minyak diperkirakan menembus angka 100 dollar AS per barel.
Namun, laporan Oxford Economics menyebut, jika Iran menutup Selat Hormuz sebagai jalur penting perdagangan minyak, harga bisa meroket hingga 130 dollar AS per barel.
Kondisi ini tentu akan memperberat inflasi global dan mempersempit ruang manuver kebijakan moneter banyak negara.
Inflasi di Amerika Serikat diproyeksikan bisa menyentuh angka 6 persen, memaksa The Fed membatalkan rencana pemangkasan suku bunga acuan tahun ini.
Lonjakan harga energi ini juga berdampak langsung pada Indonesia. Sebagai negara yang masih bergantung pada impor energi, Indonesia berpotensi menghadapi tekanan fiskal yang berat.
“Indonesia menghadapi tantangan ganda: potensi depresiasi rupiah yang dapat memicu kenaikan harga barang impor dan beban fiskal yang meningkat akibat subsidi energi yang membengkak,” kata Syafruddin.
Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang sebelumnya terjaga di bawah 2,53 persen dari PDB pun terancam meningkat signifikan.
Menanggapi hal ini, Syafruddin menekankan pentingnya langkah antisipatif dari pemerintah Indonesia.
Pertama, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan darurat untuk merespons gejolak harga minyak.
Penyesuaian skema subsidi energi perlu dilakukan secara hati-hati agar tidak memperlebar defisit fiskal.
Kedua, koordinasi antara Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan harus diperkuat untuk menjaga stabilitas nilai tukar, memperkuat cadangan devisa, dan menjamin pasokan energi dalam negeri.
Syafruddin juga mengingatkan bahwa respons moneter yang cepat perlu dibarengi dengan komunikasi kebijakan yang jernih dan tegas agar pasar tetap tenang di tengah gejolak global.
Ketiga, Indonesia perlu kembali mengaktifkan jalur diplomasi global, khususnya dalam kerangka kerja sama Selatan-Selatan.
Melalui forum G7 dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Indonesia harus mendorong terbentuknya suara kolektif yang mampu mengimbangi dominasi narasi Barat.
“Saat dunia terbelah antara mereka yang memproduksi kekacauan dan mereka yang terkena dampaknya, Indonesia harus berpihak pada stabilitas dan keadilan global. Tindakan lamban hanya akan memperbesar kerentanan kita sendiri,” tuturnya.
Syafruddin mengingatkan bahwa krisis ini bukan semata urusan militer, tetapi juga menyangkut arah ekonomi dan martabat internasional bangsa.
Sebagai negara dengan posisi strategis di Asia Tenggara dan komitmen kuat terhadap kemerdekaan Palestina, Indonesia tidak boleh pasif.
Kepemimpinan diplomatik diperlukan untuk menuntut penghormatan terhadap hukum internasional dan mencegah eskalasi lebih lanjut.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]