Ia menjelaskan, komoditas yang paling berpengaruh terhadap inflasi Agustus dan September 2025 antara lain cabai merah, cabai rawit, beras, dan daging ayam. Namun pada September, beras justru memberikan efek deflasi berkat adanya program gerakan pangan murah dan panen raya yang menurunkan harga di pasaran.
Meski demikian, Benjamin mengingatkan agar masyarakat tidak terlena dengan kondisi deflasi yang bersifat sementara.
Baca Juga:
Stok Melimpah Tapi Harga Tak Terkendali, YLKI Desak Pemerintah Tuntaskan Polemik Beras
“Deflasi yang terjadi secara berulang itu justru seharusnya dijadikan pembelajaran, karena deflasi itu memunculkan kemungkinan petani mengalami kerugian,” katanya.
Ia menambahkan, deflasi yang tidak diimbangi kebijakan perlindungan terhadap petani justru bisa menjadi “bom waktu” yang berpotensi memicu inflasi baru di masa depan, apalagi bila disertai kondisi cuaca ekstrem yang mengganggu produksi pangan.
“Pemerintah harus lebih aktif dan sebaiknya sudah ada mitigasi kebijakan apa yang harus diambil. Inflasi yang tinggi begini sama saja, masyarakat terbebani dengan pengeluaran lebih banyak,” tegas Benjamin.
Baca Juga:
Pemkab Gorontalo Gelar Pasar Murah, Kendalikan Inflasi Ramadhan 1446 Hijriah
Dengan situasi yang kian mengkhawatirkan ini, Benjamin berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret, bukan sekadar wacana. Ia menilai, kebijakan pengendalian inflasi harus dilakukan secara terintegrasi dengan memperkuat produksi pangan lokal, menjaga distribusi, dan menekan spekulasi harga di pasar.
Hanya dengan cara itu, kata Benjamin, masyarakat dapat terlindungi dari tekanan ekonomi yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial di Sumatera Utara.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]