WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kenaikan harga yang menggila kembali mengguncang Sumatera Utara (Sumut). Inflasi di provinsi ini tercatat mencapai 5,23 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi yang hanya 4,69 persen pada kuartal kedua 2025.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengeluaran masyarakat kini jauh melampaui pendapatan mereka, menandakan daya beli yang menurun dan beban hidup yang semakin berat. Tak tanggung-tanggung, situasi ini disebut sebagai salah satu yang terburuk di Indonesia.
Baca Juga:
Stok Melimpah Tapi Harga Tak Terkendali, YLKI Desak Pemerintah Tuntaskan Polemik Beras
Pengamat ekonomi Sumut, Benjamin Gunawan, menilai kondisi tersebut sebagai tanda bahaya yang seharusnya disikapi serius oleh pemerintah daerah.
“Tetapi yang sangat disesalkan adalah kayaknya tidak ada mitigasi kebijakan dari pemerintah. Eksekusinya untuk mitigasi risiko kenaikan inflasi itu saya bilang minim. Itukan gagal mengendalikan inflasi secara keseluruhan,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa (7/10/2025).
Benjamin menjelaskan, lonjakan inflasi ini sebenarnya bisa diantisipasi sejak tiga bulan lalu. Menurutnya, pemerintah seharusnya telah menyiapkan langkah mitigasi sejak periode kemarau panjang pada Mei hingga Juli 2025 yang berdampak pada penurunan produksi tanaman pangan utama.
Baca Juga:
Pemkab Gorontalo Gelar Pasar Murah, Kendalikan Inflasi Ramadhan 1446 Hijriah
Salah satu yang paling terdampak adalah produksi cabai di wilayah Lubuk Cuik, Kabupaten Batubara, dan Kabupaten Karo yang anjlok drastis.
Rata-rata produksi cabai di Lubuk Cuik yang biasanya mencapai 120 ton per hari, kini hanya sekitar 70 ton per hari. Kondisi tersebut langsung memicu kenaikan harga di berbagai daerah.
“Harga cabai merah, cabai rawit, cabai hijau mengalami kenaikan, meskipun saat ini cabai merah masih mahal, harganya Rp 80 ribu hingga Rp 100 ribu per kilogram di Sibolga,” papar Benjamin.
Ia menjelaskan, komoditas yang paling berpengaruh terhadap inflasi Agustus dan September 2025 antara lain cabai merah, cabai rawit, beras, dan daging ayam. Namun pada September, beras justru memberikan efek deflasi berkat adanya program gerakan pangan murah dan panen raya yang menurunkan harga di pasaran.
Meski demikian, Benjamin mengingatkan agar masyarakat tidak terlena dengan kondisi deflasi yang bersifat sementara.
“Deflasi yang terjadi secara berulang itu justru seharusnya dijadikan pembelajaran, karena deflasi itu memunculkan kemungkinan petani mengalami kerugian,” katanya.
Ia menambahkan, deflasi yang tidak diimbangi kebijakan perlindungan terhadap petani justru bisa menjadi “bom waktu” yang berpotensi memicu inflasi baru di masa depan, apalagi bila disertai kondisi cuaca ekstrem yang mengganggu produksi pangan.
“Pemerintah harus lebih aktif dan sebaiknya sudah ada mitigasi kebijakan apa yang harus diambil. Inflasi yang tinggi begini sama saja, masyarakat terbebani dengan pengeluaran lebih banyak,” tegas Benjamin.
Dengan situasi yang kian mengkhawatirkan ini, Benjamin berharap pemerintah daerah segera mengambil langkah konkret, bukan sekadar wacana. Ia menilai, kebijakan pengendalian inflasi harus dilakukan secara terintegrasi dengan memperkuat produksi pangan lokal, menjaga distribusi, dan menekan spekulasi harga di pasar.
Hanya dengan cara itu, kata Benjamin, masyarakat dapat terlindungi dari tekanan ekonomi yang berpotensi memperlebar kesenjangan sosial di Sumatera Utara.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]