WahanaNews.co | Dalam sekejap, pendapatan negara dari ekspor nikel yang bernilai tambah itu melejit sampai 2.300% atau menjadi Rp 360 triliun dari yang sebelumnya di tahun 2019 hanya Rp 15 triliun. Indonesia sukses menjalankan hilirisasi nikel.
"Ini sekarang sudah melompat di angka Rp 360 triliun dari Rp 15 triliun. Itu baru satu komoditas, satu barang," mengutip ucapan Presiden RI Joko Widodo, dalam acara BNI Investor Daily Summit 2022, Selasa (11/10/2022).
Baca Juga:
Imbas Hilirisasi, Bahlil Sebut 54 Persen Warga Morowali Kena Asma
Komitmen Indonesia menjalankan hilirisasi di sektor pertambangan memang tak main-main, khususnya nikel. Dengan sumber daya nikel yang terbesar di dunia, Indonesia bisa menjadi 'raja baterai listrik di dunia' tatkala nikel bisa dimanfaatkan dari hulu sampai ke hilir.
Sebab, masa depan nikel di pasar global cukup cerah seiring hadirnya industri kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV) yang terus tumbuh. Maklum, nikel merupakan bahan baku utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.
Mengacu data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia diperkirakan memiliki cadangan nikel hingga 24 juta metrik ton (MT). Di tahun 2021, produksi olahan nikel Indonesia mencapai 2,47 juta ton naik 2,17% dibanding 2020 yang sebesar 2,41 juta ton.
Baca Juga:
Dukung Hilirisasi, PLN Siapkan Listrik Andal Untuk Smelter Freeport yang Baru Diresmikan Presiden Jokowi
"Sekali lagi Indonesia akan menjadi produsen utama produk-produk barang yang berbasis nikel seperti lithium, baterai listrik. Ini kesempatan emas untuk membangun ekonomi hijau ke depan," terang Jokowi dalam Seremoni Implementasi Rencana Tahap Kedua Industri Baterai Listrik Terintegrasi di KIT Batang, Rabu (8/6/2022).
Upaya Indonesia menjadi 'raja baterai listrik di dunia' sejatinya sudah di depan mata. Saat ini Indonesia sudah memiliki holding baterai kendaraan listrik bernama Indonesia Battery Corporation alias IBC, yang terbentuk pada Maret 2021.
Holding baterai merupakan induk usaha gabungan dari empat perusahaan pelat merah. Diantaranya: Holding BUMN Pertambangan MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Pertamina (Persero), dan PT PLN (Persero).
Dalam induk usaha gabungan tersebut, MIND ID bersama Antam bertindak sebagai penyedia bijih nikel untuk bahan baku utama pembuatan baterai. Pertamina menjalankan bisnis manufaktur produk hilir meliputi pembuatan battery cell dan lainnya.
Sementara, PLN akan menyediakan infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan lain sebagainya. Porsi kepemilikan saham masing-masing BUMN tersebut adalah sebesar 25%.
Menggaet Investor Garap Baterai Listrik
Tak tanggung-tanggung, IBC bahkan bakal mengantongi investasi senilai US$ 15 miliar atau sekitar Rp 225 triliun (kurs Rp 15.000) dari hasil kerja sama dengan dua raksasa baterai dunia. Keduanya adalah PT Ningbo Contemporary Brunp Lygend Co. Ltd. (CBL) asal China dan LG Energy Solution (LGES) asal Korea Selatan.
Direktur Utama Antam Nico Kanter menjelaskan pihaknya telah memulai kerja sama pengembangan industri baterai EV dengan CBL dan LGES. Dalam kerja sama itu, perusahaan bakal menyediakan sumber daya nikel hingga pembangunan proyek smelter, baik berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) maupun High Pressure Acid Leaching (HPAL).
"Sedang prekursor, katoda, battery cell sampai ke battery recycling ini juga masih dalam part negosiasi. Kami sangat berharap bahwa kita tandatangani definitive agreement di akhir tahun ini," ujar Nico dalam Webinar Hilirisasi Minerba: Industrialisasi Mineral Menuju Indonesia Emas, belum lama ini.
Nico memaparkan perusahaan telah menandatangani framework agreement antara konsorsium LGES dengan Antam dan IBC pada 14 April 2022. Kerja sama itu berisi komitmen pembangunan industri EV battery di Indonesia secara end to end.
Membangun Pabrik
Sementara, IBC membeberkan pihaknya tengah membangun pabrik baterai kendaraan listrik di wilayah Karawang, Jawa Barat. Pabrik itu hasil kerja sama dengan konsorsium asal Korea Selatan, LG Energy Solution dan Hyundai Motor Group. Pabrik digadang-gadang akan menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.
Direktur IBC Toto Nugroho mengatakan pabrik tersebut akan memulai produksi pertama pada 2024 mendatang. Hasil produksi baterai dari Karawang rencananya akan diserap oleh Hyundai. "Di 2024 pabrik LG yang diproduksi dengan Hyundai dan nanti kerja sama dengan kami ini pabrik EV terbesar di Asean," kata dia dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII, Senin (19/9/2022).
Toto menargetkan kapasitas produksi baterai di pabrik tersebut dapat mencapai 10 Giga Watt hour (GWh) pada 2024. Meski demikian, periode yang paling penting bagi RI yakni antara 2025-2026, di mana pada tahun tersebut Indonesia bakal memproduksi baterai secara massal dengan bahan baku nikel dari dalam negeri.
"Salah satu manfaat dari proses ini adalah transisi energi. Bisa dilihat di sini kalau kita konversi hampir target 30% di 2030 bahwa kita secara potensi bisa menurunkan hampir 30 juta barel per tahun dari impor. Dengan harga sekarang hampir mendekati angka US$ 5-6 miliar per tahun," katanya.
Namun, Toto menyadari cita-cita untuk menjadi 'raja' baterai EV tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Mengingat, Indonesia harus mengimpor beberapa bahan baku untuk pembuatan baterai, salah satunya seperti lithium.
Menurut Toto sekalipun RI kaya raya akan cadangan nikel yang melimpah, namun hal itu belum cukup menjadikan RI sebagai "raja" baterai dunia. Pasalnya, terdapat dua komponen bahan baku baterai yang tidak dimiliki RI, diantaranya seperti material lithium dan graphite.
"Di Indonesia kita kaya dengan nikel, namun ada dua komponen utama yang harus kita impor. Pertama adalah lithium, kedua adalah baterai untuk anoda-nya, bahannya itu kayak graphite. Katoda itu terdiri dari 80% oleh nikel, 10% lithium, 10% dari kobalt atau mangan," ungkap Toto.
IBC, kata Toto juga tengah mengupayakan pengembangan teknologi pembuatan baterai listrik tanpa komponen lithium. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi bergantung pada bahan baku impor.
"Ini riset kita lakukan bagaimana kita tidak tergantung lithium-nya atau kobalt ataupun dari graphite-nya," kata dia.
Membidik Tambang Luar Negeri
Direktur Hubungan Kelembagaan MIND ID Dany Amrul Ichdan menjelaskan komponen bahan baku baterai kendaraan listrik 80% terdiri dari bijih nikel. Namun demikian, 20% bahan baku untuk pembuatan baterai masih bergantung pada negara lain, seperti China, Chile, dan Australia.
Oleh sebab itu, diperlukan peta jalan kemandirian dalam industri baterai terintegrasi. Sehingga ketergantungan terhadap barang impor bisa dikurangi meskipun jumlahnya hanya 20%.
"Apakah kita melakukan aksi korporasi untuk mengambil tambang lithium di luar negeri ataukah seperti apa, IBC sedang membuat peta jalan, paling tidak ketergantungan impor ini dikurangi," kata dia.
Ia merinci bahan baku seperti lithium yang selama ini diimpor misalnya, kebutuhannya mencapai 70 ribu ton per tahun. Sedangkan kebutuhan bahan baku baterai berupa graphite mencapai 44 ribu ton per tahun.
Sementara, bahan baku seperti mangan sulfat dan kobalt, kebutuhan masing-masing mencapai 12 ribu ton per tahun. "Dan ini masih impor. Jadi 20% selain nikel kita masih impor," tutup Dany. [tum]