Salah satu contohnya yakni dengan melakukan pembukaan data dan analisis secara besar-besaran ke publik untuk membangun kepercayaan pihak terkait.
Selain itu, menghentikan pengoperasian PLTU batubara yang sudah tidak ekonomis demi berpihak pada energi terbarukan dan solusi penyimpanan daya yang hemat biaya untuk meningkatkan efisiensi jaringan.
Baca Juga:
Urgensi Krisis Iklim, ALPERKLINAS Apresiasi Keseriusan Pemerintah Wujudkan Transisi Energi Bersih
Kedua, PLN perlu mengoptimasi sistem kelistrikannya, yakni meningkatkan ketahanan sistem untuk mengurangi risiko pembayaran dan mendukung jaringan yang paling hemat biaya. Sistem yang tangguh dapat mengintegrasikan fasilitas penyimpanan daya, mengelola variabilitas, dan merespons kebutuhan listrik.
Selain itu, sistem ini juga mampu mengurangi risiko pemangkasan produksi listrik guna menjaga keseimbangan jaringan yang biasanya harus dilakukan lantaran sifat intermitensi energi terbarukan. Menurut Elrika, hal ini berarti risiko pembayaran yang lebih rendah bagi pemberi pinjaman, yang berpotensi menurunkan biaya utang.
Langkah ketiga, Indonesia perlu menjalankan uji coba untuk membuka pendanaan hijau melalui teknologi baru dan efisien, seperti jaringan pintar (smart grid), fasilitas penyimpanan daya, dan e-mobility.
Baca Juga:
Di COP29, PLN Perluas Kolaborasi Pendanaan Wujudkan Target 75 GW Pembangkit EBT 2030
Jaringan Jawa-Bali PLN yang kelebihan pasokan menjadi peluang besar bagi uji coba pembangkit energi terbarukan hingga pengelolaan permintaan.
“Namun, tidak ada timeline yang jelas bagi pengadaan proyek energi terbarukan dan penyimpanan daya, isu lama yang telah ditunggu-tunggu investor swasta,” tutur Elrika.
“Secara historis, lelang dan negosiasi dengan PLN membutuhkan waktu dan kesabaran, yang mana ini tidak menarik bagi investor.”