WAHANANEWS.CO, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan bahwa praktik judi online (judol) dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia, dengan potensi mencapai Rp1.000 triliun pada akhir 2025
Estimasi mengejutkan ini berasal dari kajian mendalam yang dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Baca Juga:
PPATK: Pemain Judol Januari-Maret 1 Juta Orang, 71 Persen Masyarakat Miskin
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar, menegaskan bahwa potensi kerugian tersebut bukan sekadar angka, melainkan ancaman serius terhadap stabilitas sosial dan ekonomi nasional.
“Jika tidak ada intervensi tegas, kerugian akibat judi online bisa menyentuh Rp1.000 triliun pada akhir 2025. Ini data resmi dari PPATK,” ujar Alexander dalam konferensi pers di Kantor Komdigi, Jakarta, Kamis (15/5).
Merusak Masa Depan Generasi Muda
Baca Juga:
Bareskrim Tangkap Pemilik Perusahaan Cangkang 12 Situs Judol
Lebih dari sekadar ancaman ekonomi, Alexander juga menyebut bahwa praktik judol telah merusak sendi-sendi masyarakat: menurunkan produktivitas generasi muda, menghancurkan ekonomi rumah tangga, dan menyuburkan budaya konsumtif tanpa kerja keras.
“Judi online bukan hanya masalah digital. Ini masalah sosial yang menghancurkan masa depan anak muda dan keluarga Indonesia,” tambahnya.
1,3 Juta Konten Judol Sudah Diblokir
Sebagai bentuk komitmen, Komdigi mengintensifkan pemblokiran terhadap konten dan situs judi online. Sejak 20 Oktober 2024 hingga Mei 2025, sebanyak 1,3 juta konten judi online berhasil ditangani.
Dari jumlah tersebut, sekitar 1,2 juta merupakan situs aktif dan alamat IP, sementara sisanya berupa iklan judi yang tersebar di berbagai platform media sosial.
“Kami fokus pada dua hal utama: menekan peredaran situs dan menindak iklan di media sosial. Langkah ini harus dilakukan terus-menerus,” jelas Alexander.
Capai Puluhan Triliun
Sebelumnya, PPATK juga mencatat bahwa pada awal 2025, transaksi judi online telah mencapai Rp47 triliun, dengan wilayah Jawa Barat menjadi penyumbang terbesar.
Angka ini memperkuat urgensi tindakan lebih luas dan lintas sektor.
Alexander menegaskan, tanpa tindakan yang masif dan konsisten, ancaman judol bisa menjelma menjadi bencana sosial dan ekonomi yang lebih besar.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]