WAHANANEWS.CO, Jakarta - Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) menyoroti serius praktik kuota internet hangus yang dinilai sangat merugikan konsumen dan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi dalam skala besar.
Ketua BPKN RI, M. Mufti Mubarok, menyatakan bahwa fenomena ini merupakan bentuk ketidakadilan yang harus segera direspons oleh pemerintah dan penyedia layanan telekomunikasi.
Baca Juga:
BPKN Terima 1.733 Aduan di 2024, Kerugian Konsumen yang Dipulihkan Capai Rp 44 Miliar
Data dari Indonesian Audit Watch (IAW) mengungkap bahwa potensi kerugian negara akibat kuota internet prabayar yang hangus tanpa kompensasi bisa mencapai Rp235 triliun per tahun.
Dengan jumlah nomor aktif mencapai 355 juta dan rata-rata pengeluaran bulanan sebesar Rp77.500 per pengguna, kuota yang tidak terpakai itu dinilai sebagai nilai ekonomi yang tidak kembali ke konsumen, tidak dikenai pajak secara layak, dan tidak memberikan kontribusi terhadap penerimaan negara.
Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) pun turut menanggapi, menyebutkan nilai kuota hangus yang fantastis, mencapai Rp63 triliun.
Baca Juga:
BPKN RI Terima 1.733 Pengaduan Konsumen di 2024, Naik 200 Persen
“BPKN memandang praktik hangusnya kuota internet sangat tidak adil. Konsumen sudah membayar penuh dan berhak mendapatkan manfaat dari produk atau layanan yang telah dibayar. Jika kuota hangus tanpa kompensasi atau mekanisme rollover yang adil, ini sangat merugikan dan bertentangan dengan prinsip perlindungan konsumen,” tegas Mufti Mubarok dalam pernyataannya tertulisnya, dikutip Kamis (19/6/2025).
Mufti yang juga menjabat Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia mengungkap bahwa pengaduan masyarakat terkait hilangnya kuota terus meningkat.
Hingga saat ini, BPKN telah menerima setidaknya 197 kasus pengaduan yang sebagian besar terkait dengan dua pola umum: kuota lama yang hangus saat pembelian paket baru dan kuota yang hilang tanpa alasan yang jelas.
Menurutnya, pola-pola ini menunjukkan kurangnya fleksibilitas dalam penggunaan kuota dan minimnya transparansi informasi kepada konsumen.
Dalam banyak kasus, konsumen tidak diberi penjelasan yang memadai mengenai masa berlaku kuota atau konsekuensi apabila tidak digunakan.
“Praktik seperti ini jelas melanggar prinsip-prinsip perlindungan konsumen dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, terutama hak atas kenyamanan, keamanan, serta informasi yang benar dan jujur dalam menggunakan barang dan jasa,” tegasnya.
Untuk itu, BPKN mendorong dilakukannya dialog terbuka antara pemerintah, regulator, operator seluler, dan asosiasi konsumen untuk menciptakan sistem layanan data yang lebih adil dan transparan.
BPKN juga berkomitmen menyampaikan aspirasi konsumen melalui forum-forum kebijakan dan memberikan rekomendasi konkret kepada para pemangku kepentingan.
Mufti menyampaikan lima rekomendasi penting yang ditujukan kepada pemerintah dan operator seluler:
1. Mengatur ketentuan masa berlaku dan mekanisme rollover kuota secara tegas dan jelas, agar konsumen memiliki kepastian hukum dan mendapatkan perlakuan yang adil.
2. Mewajibkan operator menyediakan informasi yang transparan dan mudah dipahami mengenai penggunaan kuota serta dampaknya apabila tidak digunakan.
3. Mendorong pengembangan layanan yang fleksibel, seperti akumulasi kuota atau pengembalian dana (refund) atas kuota yang tidak terpakai.
4. Meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik-praktik tidak adil di sektor telekomunikasi.
5. Menuntut pertanggungjawaban operator seluler, serta membuka opsi class action bagi konsumen yang dirugikan.
“Kami akan terus memperjuangkan hak-hak konsumen, khususnya dalam layanan digital seperti kuota internet. Konsumen harus menikmati layanan ini secara adil, transparan, dan tanpa praktik-praktik yang merugikan,” tutup Mufti.
[Redaktur: Mega Puspita]